Menamakan Gairah Sinema


Saya mengalami pengalaman menarik ketika berkesempatan untuk melakukan traveling ke negara-negara Eropa, apalagi mengalami sendiri menjadi bagian dari komunitas pecinta film disana. Di Jerman misalnya, banyak buletin film (seperti Montase) yang didapatkan dengan mudah secara gratis di kantor pelayanan publik, kafe-kefe, hingga di dalam transportasi umum sekalipun. Hal ini membuktikan bahwa negara ini banyak komunitas filmnya yang benar-benar kritis dan tahu caranya menjadi bagian dari sinergi pergerakan bahkan industri perfilman negaranya. Pembahasan buletin mereka pun memiliki porsi pembahasan film dalam negeri baik film mapan maupun film indie, bahkan sampai pada pembahasan posisi kursi strategis untuk menonton yang dirumuskan posisi strategis tersebut pada sumbu pusat/ titik pemotongan antara garis X dan Y. Dengan garis X yang equal terpotong dan garis Y dengan pemotongan 70: 30.

Di Belanda atau yang familiar dengan istilah negeri kincir angin ini juga memiliki atmosfer budaya yang jauh berbeda dibandingkan dengan kita. Tentu saja banyak hal yang menarik melihat pada etos kerja mereka yang membuat kita mengerti mengapa mereka bisa menjadi negara maju. Tidak heran masyarakatnya dalam kesempatan menjelang week-end begitu bergairah menyambutnya dari rencana piknik hingga mengunjungi negara tetangga. Menghabiskan waktu week-end dengan menonton film di bioskop jelas pilihan yang menarik bagi pelajar dan kaum muda di Belanda. Adalah bioskop Pathē yang menangkap gaya hidup kebiasaan anak mudanya dengan memberikan penawaran menarik dengan membuat kartu Pathē unlimited seharga 17 Euro per bulan bisa menonton di semua bioskop Pathē sepuasnya, ditambah dengan free cup a coffe yang memanjakan.

Berbeda lagi ketika saya melanjutkan traveling mengunjungi negara tetangga di Belgia, tepatnya di Antwerpen, dimana di kota yang mayoritas penduduknya masih memakai bahasa Belanda ini. Di kota ini adalah tempat para moviegoers di Eropa sempat memalingkan perhatiannya saat pertama kalinya pada tahun 1993 pemerintah mendirikan bioskop Megaplex terbesar seEropa (bahkan mungkin sedunia) dengan 24 Studionya yang bernama Metropolis. Tentunya dengan kualitas sound system termutakhir dengan desain ruangan yang mendukung. Anda yang belum terbiasa dengan kualitas suara di bioskop terdepan ini tentu akan merasa sangat bising sekaligus mengalami sebuah sensasi menonton tak terlupakan. Tentu saja bagi saya termasuk pengalaman baru, menonton film Hollywood dengan dua subtitle mengingat negara ini memakai dua bahasa, bahasa Belanda di bagian utara dan bahasa Perancis di selatan.

Demikian banyaknya jumlah studio di Bioskop Metropolis seolah mengisyaratkan kecanduan masyarakatnya pada film layar lebar. Namun menariknya ketika saya berkunjung bioskop tersebut dan memilih studio yang memutar film yang boleh dibilang masih baru, saya terkejut ketika hanya saya dan teman serta dua orang penonton lainnya yang ada di studio tersebut. Bayangkan hanya empat orang dalam studio berkapasitas 198 kursi (studio utama/terbesar berkapasitas hingga 746 kursi). Siapa sangka berdasarkan statistik yang saya dapat, bioskop Metropolis ini ternyata adalah tujuan utama turis yang berkunjung ke kota Antwerpen, bayangkan saja terhitung setahunnya ada tiga juta lebih penonton.

Selain tentunya perlengkapan menonton yang memadai, bioskop ini pun memiliki ruang tunggu yang nyaman, selain Bar dan café yang eksklusif, pihak bioskop pun menyediakan permainan X-Box yang dapat dimainkan siapa saja gratis. Permainan video game tersebut dirancang bak meja Pin Ball, serta desain ruangan dan tata cahaya yang menawan membuat anda tergoda mengeluarkan kamera untuk mengabadikannya, namun sayang pihak bioskop sama sekali tidak memperbolehkan mengambil foto.

Lain halnya di kota St. Ettiene, Perancis yang pernah saya singgung di Montase edisi sebelumnya. Hal yang menarik di sana adalah bahwa menonton merupakan bagian dari kultur keseharian mereka. Dari anak-anak hingga para manula mereka gemar sekali menonton. Sesampainya di rumah pun mereka akan kembali mengulas dan membincangkan di ruang makan selepas santap malam atas apa yang mereka nikmati saat menonton tadi. Tidak heran budaya menonton mereka membuat negara ini menjadi kiblat terdepan dalam dunia film tanpa perlu lagi menyebut nama festival bergengsi yang terkenal disana dengan penghargaan palem emasnya sebagai representasi kecintaan mereka pada film.

Nun jauh di sebuah negara Asia bagian tenggara, Indonesia, tepatnya di Kota Yogyakarta kini memiliki bioskop XXI, bagian dari jaringan bioskop 21. Dengan desain yang tak kalah apik sampai jumlah penontonnya yang tak pernah dalam sehari pun kehilangan minatnya, bisakah kita berharap atmosfer yang serupa dari berbagai kisah yang saya alami di negara Eropa? Ataukah ini hanya bagian gaya hidup baru bagi kaum muda urban Yogyakarta?

Andrei Budiman

No comments: