Ketika Cinta Bertasbih

 “Writer’s Cut”, Bukan “Director’s Cut”

Saat menonton adegan pernikahan antara Fahry dengan Aisha di Ayat-ayat Cinta (AAC, 2008), diri ini bergumam dalam hati, “Kok, pernikahannya lebih mirip film India, ya? Apa lantaran produsernya keturunan India?” Mungkin ya, mungkin tidak. Yang pasti, di AAC, Kang Abik, sapaan pengarangnya Habiburrahman El-Shirazy, jelas tak terlalu intens dilibatkan dalam versi film dari novel best seller-nya itu. Sehingga yang kemudian terlihat di versi filmnya berbeda dengan novelnya. Versi filmnya, misalnya, dibuat lebih melodramatis. Bukan saja menghidangkan yang tak ada di novel ke penonton, tapi filmnya, ya itu tadi, lebih mirip “film India” minus nyanyi dan tari ketimbang film islami. Belum lagi produsernya yang ingin main hemat, mengubah tempat syuting di Mesir sesuai cerita aslinya ke India.

Syahdan, AAC tetap sukses ditonton jutaan orang. Sebagian kecil karena pembaca novelnya yang ingin melihat “chicklit akhwat” kesayangan mereka difilmkan; sebagian besar lain, bagaimanapun, lantaran suka dengan penggarapan melodramatis bikinan Hanung Bramantyo, sutradaranya. Meski dapat bonus tambahan usai filmnya sukses, dalam hati Kang Abik, saya rasa, ada yang mengganjal. AAC versi film, sedikit banyak mengkhianati novelnya.

Maka, saat ada tawaran produser lain mengincar novelnya yang satu lagi, Kang Abik pasang kuda-kuda. Pastinya ia mengajukan syarat ini-itu bila novelnya difilmkan. Nah, produser yang mungkin matanya sudah hijau melihat uang di depan mata (karena mengira filmnya akan sukes, bagaimanapun hasilnya) pasti mengiyakan saja. Segala syarat Kang Abik pasti dipenuhi. Ibarat kata, minta bumi dan langit pun pasti dikasih.

Justru di sini masalah bermula. Kang Abik dilibatkan sebagai supervisor. Pengawas di sini bertugas tak hanya mengawasi dari jauh. Tapi juga dimintakan pendapat ini-itu, bahkan—bisa jadi—dimintai tanda tangan tanda persetujuan. Maka, Chaerul Umam yang sudah bikin film islami Titian Serambut di Belah Tujuh itu dan Imam Tantowi yang penulis skenario kawakan itu tak lebih hanya berfungsi sebagai tukang. Orang suruhan. Ke mana produsernya, yang punya uang itu? Oh, dia sih—sepertinya lagi—tak terlalu pusingkan hal ini. Ia malah sibuk bikin hype agar film ini sudah ada di benak orang jauh sebelum tayang. Caranya juga norak: membuat proses casting pemain debutan dalam reality show model AFI, KDI, atau semacamnya—yang kemudian berujung pada masalah lain saat filmnya jadi lantaran sebagian besar dari para debutan ini berakting kaku.

Hasilnya, filmnya bersetia pada novelnya. Jelas betul adegan per adegan seperti dicomot mentah-mentah dari novelnya. Tak peduli apa adegan itu penting atau tidak. Tak peduli apa adegan itu terlalu literer.

Ya, film ini, Ketika Cinta Bertasbih (2009), tak memiliki bahasa visual jitu. AAC yang keterlaluan India-nya itu pada beberapa adegan (yang berarti di sini bahasa visualnya berhasil) masih membuat tersentuh (ingat adegan saat Fachry menikahi Maria atau saat Fachry shalat dengan Maria). Tapi yang ini, adegan menyentuh justru saat tokohnya membaca surat penuh haru dari kampungnya di Indonesia. Menyorot adegan baca surat cukup dengan mengambil gambar close-up tokohnya dan diberi voice over isi surat dari pengirimnya. Artinya lagi, yang bikin haru bukan adegannya. Tapi suratnya. Bahasa literernya. Bukan bahasa visualnya.

Saya percaya, film dinilai justru dari bahasa visualnya karena film bergantung pada gerak gambar dan adegan. Sedang sastra dinilai dari pilihan kata pengarangnya. Saat film lebih banyak berkata-berkata, filmnya jadi banyak omong.

Dakwah di film ini juga teramat verbal. Hadist, ayat, atau pendapat ulama sering dikutip utuh sambil merujuk ke halaman yang dimaksud segala. Saat seorang tokohnya akan mengambil buku kitab yang jadi rujukannya ketika mengajukan syarat ini-itu waktu dipinang, saya sampai kuatir jangan-jangan ia akan membacanya mulai dari kata pengantar (untung tidak). Film ini mirip khotbah yang disampaikan mulut tokoh-tokohnya.

Mendiang Asrul Sani yang sineas jenius itu suatu kali berkata[1], khotbah itulah yang paling mudah. Artinya, sineas film ini cari gampangnya saja. Mereka kurang berpikir keras membikin bahasa gambar yang berisi dakwah secara halus, tidak verbal dan penuh khotbah. Padahal yang halus dan seperti tak terasa itulah yang lebih mengena. Usai menonton film ini, sumpah saya tak ingat nama kitab-kitab atau perawi hadist yang jadi rujukan hukum anu dan anu.

Dari sini saya lantas teringat Laskar Pelangi (2008) film mega box office yang juga berangkat dari novel laris. Penulisnya, Andrea Hirata, konon dengan rendah hati berserah sepenuhnya pada sineas (Riri Riza [sutradara], Mira Lesmana [produser], dan Salman Aristo [skenario]) untuk membuat filmnya.

Meski punya hak penuh atas kisahnya, ia sadar dirinya bukan sineas melainkan penulis novel. Ia sadar, novel dan film bisa berlainan karena keduanya medium berbeda dan berbicara dalam bahasa berbeda pula. Hasilnya, versi filmnya malah memperbaiki apa yang sudah sangat baik ditulis Andrea. Versi filmnya jadi karya yang nyaris lepas dari novelnya, tapi dengan hasil sama baiknya. Pecinta novelnya tak merasa dikhianati meski ada bagian novel yang hilang. Sebab toh mereka disuguhi tontonan yang ciamik tenan.

Beda dengan yang ini. Penonton film malah dikalahkan. Kang Abik pemenangnya. Jika mengikuti tradisi rilisan DVD di Hollywood sana, mending menunggu versi “Director’s Cut” dari film ini. Siapa tahu berbeda dengan yang ini, versi “Writer’s Cut”. ***

Ade Irwansyah

*) menulis soal film di blognya, http://adeirwansyah.multiply.com/.
[1] Dalam wawancara dengan Tempo, edisi 6 November 2000. Anda bisa mencari versi on-line-nya dengan membuka arsip majalah Tempo di situsnya.

No comments: