Islam Mainstream Kini?


Jika tak ada aral melintang, Lebaran tahun ini akan diramaikan dengan lanjutan film Ketika Cinta Bertasbih (KCB, sutradara Chaerul Umam) alias KCB 2. Saat tulisan ini dibuat belum ketahuan bagaimana publik akan meresponnya. Yang sudah pasti, posternya tak lagi diembel-embeli tulisan “Asli Mesir”. Sebab sesuai pakem kisahnya, cerita lanjutannya ini akan berfokus pada kehidupan Jawa pedesaan tempat tokoh utamanya tinggal. Akan konyol jika sineasnya tetap nekad membuat cap “Asli Jawa” di posternya. “Asli Mesir” atau “Asli Jawa” yang jelas KCB adalah suatu fenomena sendiri. Ia adalah kelanjutan dari tradisi panjang film religi di negeri ini. Di penghujung tahun ’50-an, Asrul Sani sudah membuat Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959). Selain itu, film-film Usmar Ismail juga kental dengan nuansa pesan-pesan dakwah meski tak diniatkan jadi film religi.

Genre film religi berkembang di dekade berikut. Puncaknya di tahun ‘70-an dan ‘80-an. Pada dekade tersebut kita disuguhi film-film cerita keteladanan para wali (Wali Songo, Sunan Kali Jaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga dan Syeh Siti Jenar) maupun yang bertema drama (Al Kautsar, remake Titian Serambut…) plus semua film Rhoma Irama yang menggabungkan dakwah dan musik (dangdut). Era keemasan itu ditutup dengan kolaborasi da’i tulen (KH Zainuddn MZ) dengan bintang film-pemusik-pendakwah (Rhoma Irama) dalam Nada & Dakwah (1990). Kemudian kita memasuki era film esek-esek-nya Sally Marcelina dkk. Perfilman kita mandeg. Orang menyebutnya mati suri—istilah salah kaprah karena film kita tak pernah berhenti dibuat saban tahun.

Syahdan, datanglah era reformasi. Film nasional bangkit lagi, hingga kini bisa lebih dari 40-an film dirilis dalam setahun. Meski begitu genre film religi baru muncul tahun 2008 lewat Ayat-ayat Cinta (sutradara Hanung Bramantyo). Pertanyaannya, bagaimana film seperti AAC dan KCB bisa lahir di Indonesia kontemperer sekaligus jadi tontonan orang banyak? Kita tahu AAC ditonton tak kurang dari 3,8 juta orang. Tiket bioskop KCB hari pertama tayang ludes dibeli lebih dari 115 ribu orang (Republika, 14 Juni 2009). Konon, dalam sepekan jumlah penonton KCB sudah melampaui 2 juta orang—meski disaingi ketat film Garuda di Dadaku dan King.

Film Islam(i) menemukan momentumnya lewat AAC. Seperti Ada Apa dengan Cinta? yang memicu lahirnya tren film dan sinetron remaja atau Jelangkung yang mempolulerkan tren film horor, AAC pun—meminjam istilah kritikus film Eric Sasono—melahirkan “Pak Turut” alias epigon. Sejak AAC, kita disuguhi Mengaku Rasul, Syahadat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan 3 Doa 3 Cinta. Masing-masing punya tema kisah yang berlainan dan kualitas yang berbeda, tapi jenisnya sama: film Islam atau setidaknya, bernuansa islami. AAC dan KCB patut disebut secara khusus karena ia lahir dari tradisi keberislaman yang berbeda dengan era film-film religi terdahulu alias eranya bang haji Rhoma dan Asrul Sani. AAC dan KCB merupakan puncak pencapaian nilai-nilai keberislaman ke dalam wilayah masyarakat banyak alias mainstream (arus-utama) dari apa yang sudah dirintis nyaris selama 30 tahun.

Tiga puluh tahun? Ya, semuanya berawal dari Revolusi Islam di Iran pada 1979 yang memotivasi mahasiswa untuk menggalakkan dakwah di kampus. Aktivis dakwah kampus ini, yang sering disebut kelompok Tarbiyah atau Usroh, mengembangkan konsep dakwah yang tidak hanya menjadikan seorang saleh secara individual, tapi juga menjadikan Islam sebagai tatanan dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Kelompok ini mengembangkan jaringannya dengan mengambil insprirasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka mudah dibedakan dari mahasiswa lain: sopan, rendah hati, rajin beribadah, dan menegakkan sunnah—termasuk memelihara jenggot, mengenakan celana panjang di atas mata kaki, dan tidak merokok.

Ekspresi berkesenian mereka juga sebisa mungkin yang islami. Mereka tak mendengar musik pop dan rock, melainkan jenis musik yang dinamakan nasyid. Bacaan pun begitu. Mereka mencipta majalah untuk dibaca kalangan sendiri. Kemudian Orde Baru runtuh di tahun 1998. Kelompok yang semula menjauhi politik praktis ini memilih terjun dengan mendirikan Partai Keadilan (PK). Gagal di pemilu 1999 membuat mereka berganti nama jadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini jadi kekuatan politik penting saat ini. Posisi tawar mereka tak kecil. Artinya, wilayah politik arus-utama sedikit banyak sudah ditaklukkan. Sementara itu, di ranah seni, nasyid kini bukanlah alunan musik untuk kalangan sendiri. Hayo, siapa kini yang tak kenal Raihan, Snada, atau Opick? Generasi sekarang lebih kenal nasyid ketimbang lagu-lagu qasidah.

Selanjutnya merambah pada ranah sastra. Sastra Islam juga bukan hal baru. Hamka, ulama besar itu, sudah membuat novel islami berpuluh tahun lalu. Tapi baru di tahun 2000-an ini mencapai puncaknya. Toko buku dipenuhi novel-novel bersampul cewek remaja berjilbab. Lalu novel islami laris dicetak sampai 500 ribu eksemplar. Novel yang laris itu kebetulan berjudul AAC dan KCB yang keduanya ditulis Habiburrahman El-Shirazy. Sukses dua novel itu lantas dilirik produser film. Menarik disimak bahwa yang mengangkatnya jadi film layar lebar bukanlah produser dari kalangan muslim, melainkan keturunan India (pada AAC) dan Tionghoa (pada KCB). Apakah hal ini didasari idealisme atau hitungan-hitungan ekonomi semata perlu kajian lain lagi.

Yang pasti, teks yang tadinya tertulis kini melebar jadi bahasa visual. Film—dalam tradisi lisan kita yang lebih kuat dari budaya baca-tulis—lebih memberi efek masif ketimbang buku. Islam model AAC dan KCB serta merta mendapatkan tempatnya dalam arus utama budaya populer. Wacana soal taaruf, poligami dan semacamnya mendadak muncul dalam keremangan bioskop. Lantas, apa dua film itu merepresentasikan Islam arus-utama saat ini? Saya tak ingin tergesa menyimpulkannya demikian. Namun, pada hakikatnya, kepopuleran nasyid dan sastra islami pasca reformasi merupakan bentuk counter culture atas budaya arus-utama saat itu. Film islami model AAC dan KCB juga counter culture atas menjamurnya film-film horor dan remaja.

AAC dan KCB pun menemukan “lawan”-nya. Ketika dua film itu dinilai jadi arus-utama Islam kontemporer, counter culture-nya datang lewat Laskar Pelangi (2008) dan Bukan Cinta Biasa (2009) yang menawarkan nilai-nilai keislaman tanpa ditempeli atribut fisik macam jilbab. Atau pula oleh 3 Doa 3 Cinta (2008) yang menghadirkan beragamnya keberislaman orang Indonesia dengan pesantren sebagai latarnya. Pendek kata, itu sudah hukum alam. Hukum alam lainnya, saat muncul sebagai wacana arus-utama ada nilai-nilai awal yang tergerus. Agar bisa diterima masyarakat luas sedikit banyak produk yang dihasilkannya akan mencair. Itu terjadi pada nasyid. Dulu nasyid menghindari betul penggunaan alat musik. Kini segala macam alat musik bisa dipakai mengiringi lagu-lagu nasyid.

Film model AAC dan KCB tak bisa menghindari itu. Di luar urusan dakwah yang diusung dua film itu, penampilan pemerannya yang ganteng dan cantik jadi tontonan yang tak terhindarkan. Mereka pun jadi selebritas, muncul di infotainment dan tabloid, dikulik kehidupan pribadinya. Sekali lagi, itu sudah hukum alam budaya pop.

Ade Irwansyah

1 comment:

gunsa1949 said...

Islam adalah jalan pulang ke syorga sejak Adam dan Hawa diturunkan kebumi, diusir dari Syorga. Lalu Allah berfirman :"Aku turunkan Petunjuk-Ku, barangsiapa yang bisa mengikutinya akan bisa balik dengan selamat ke Syorga". Dakwah melalui Film, seni dan apa saja adalah pilihan jalan pulang, kalau benar ya selamat kalau salah yahh.. masuk neraka jahanam. Manusia hanya bisa berdoa dalam sholat"Ihdinas Sirothol Mustaqim"