Chungking Express

Sebuah Visualisasi tentang Kesunyian

Apa yang saya maknai ketika menonton film Wong Kar Wai yang ketiga ini adalah suatu kesunyian. Kesunyian yang berlangsung terlampau pelan, tapi terkadang kesunyian itu berjalan begitu cepat dan dibalut dalam sebuah keceriaan. Begitu mudahnya saya masuk kedalam cerita, serasa ikut menikmati kesunyian kedua protagonis.

Film ini terdiri dari dua bagian yang diceritakan secara berurutan. Di masing-masing cerita para pemeran utama memiliki profesi yang serupa, opsir polisi. Dan keduanya berusaha mengatasi kesunyian mereka dengan caranya masing-masing. Ada yang dengan memakan nanas kalengan yang bertanggal kadaluarsa 31 Mei 1994. Lainnya berbicara dengan boneka yang diibaratkan kekasih lalunya. Uniknya, kedua bagian adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dan tidak berhubungan. Dan yang mengaitkan cerita satu dan cerita kedua adalah sebuah kedai (semacam kedai kebab).

Cerita pertama bertutur mengenai opsir polisi nomer 223 a.k.a Qi Wu (Takeshi Kaneshiro) dan seorang bandar narkoba, si perempuan tak bernama berambut emas (Brigitte Lin). Opsir 223 baru saja diputus pacarnya, sedang si perempuan berambut emas dikhianati oleh anak buahnya. Keduanya bertemu secara tak sengaja di awal film ketika opsir 223 mengejar penjahat dan bertubrukan dengan perempuan berambut emas. Lalu bertemu kembali di sebuah pub usai berlari dari masalahnya masing-masing. Cerita kedua mengenai opsir polisi 663 (Tony Leung) yang baru saja ditinggal kekasihnya, si pramugari (Valerie Chow). Lalu si opsir berjumpa dengan seorang perempuan pegawai kedai kebab yang kebetulan diam-diam menaruh hati padanya, Faye (Faye Wong).

Seperti yang saya utarakan diatas, kesunyian adalah sesuatu yang ingin ditonjolkan disini. Di cerita bagian pertama kesunyian itu digambarkan begitu pelan dan temaram. Wong Kar Wai memakai pencahayaan yang begitu suram hampir disemua adegan. Terutama saat adegan itu difokuskan ke tokoh utama, opsir 223. Sementara bagian kedua membawa saya menuju sebuah wujud lain dari sepi. Rasa-rasanya hampir semua tertutup oleh keceriaan, terutama keceriaan yang dibawa oleh Faye. Juga setting waktu yang lebih dominan di siang hari membuat saya lupa, bahwa kita masih berbicara tentang kesunyian disini.

Jika berbicara tentang film, maka tidak bisa kita lupakan juga soundtrack yang mengisinya. Si sutradara begitu cerdasnya memasukkan lagu-lagu yang pas sehingga mampu membuat saya menyadari bahwa film ini terdiri dari dua bagian. Di bagian pertama lagu reggeae dari Dennis Brown yang berjudul Things In Life, iramanya seakan berima dengan suasana hati si tokoh utama, opsir 223. Sedangkan nada-nada ceria dan menghentak dari The Cranberries “Dreams” (dalam film ini, lagunya diubah menjadi versi Hongkong dan dinyanyikan dengan bahasa lokal pula). Juga “California Dreamins” milik The Mama`s & The Papa`s, begitu sinkron dengan keceriaan Faye.Bagian pemungkas cerita yang dibuat menggantung saya rasa ini cukup menarik, karena akan membebaskan penonton untuk bermain dengan imajinasi mereka seliar-liarnya. Secara keseluruhan, Wong Kar Wai menata adegan demi adegan di film ini secara indah. Dia dengan sukses melebur dua kisah yang berbeda menjadi satu bagian yang utuh. Juga tentang kesunyian yang ternyata mampu bervisualisasi dalam bentuk apapun. Baik itu pelan ataupun cepat, riuh ataupun rendah, terang ataupun gelap. Semua memiliki perannya masing-masing.

Ridhani Agustama

No comments: