The Blair Witch Project,

Horor Murah yang Efektif



The Blair Witch Project (1999) merupakan film independen fenomenal yang kini masih memegang rekor rasio prosentase keuntungan dengan bea produksi terbesar sepanjang masa. Film yang diarahkan oleh Daniel Myrick dan Eduardo Sánchez ini berbujet US$35 ribu (sekitar 30-jutaan rupiah) dengan harapan untuk tayang di tv kabel. Namun nasib berkata lain. Setelah sukses di ajang Sundance, Artisan membeli hak siar untuk tayang di bioskop hingga kelak film ini sukses luar biasa hingga melewati angka US$200 juta di seluruh dunia.

Plot filmnya sangat sederhana. Tiga orang mahasiswa, Heather Donahue, Joshua Leonard, dan Michael Williams berencana membuat film dokumenter tentang mitos tua, “The Blair Witch”, di wilayah hutan Burkittsville, Maryland, Amerika Serikat. Setelah persiapan, mereka menuju ke wilayah tersebut dan mewawancara penduduk setempat tentang kebenaran mitos tersebut. Hari berikutnya mereka masuk ke dalam hutan dan berjalan kaki menuju lokasi. Mereka masuk jauh ke dalam hutan hingga akhirnya menemukan areal pemakaman tua angker yang menjadi sumber mitos tersebut. Mereka bermalam di sana dan mengambil semua gambar yang diperlukan untuk keperluan dokumentasi mereka. Setelah dirasa cukup mereka akhirnya berniat kembali ke kota dan disinilah masalah bermula. Mereka kehilangan arah hingga tersesat. Kegelisahan semakin menjadi ketika menyadari ternyata mereka tidak sendirian di dalam hutan.

Walau dengan plot yang sederhana namun istimewanya unsur ketegangan yang dibangun demikian tinggi dan mencekam dari waktu ke waktu. Bahkan sejak awal film kita sudah mendapatkan informasi jika ketiga muda-mudi tersebut entah hilang atau tewas. Namun karena penuturan cerita yang dibangun begitu efektif dan menegangkan kita seolah dibuat lupa akan informasi di awal film tersebut. Kita sungguh-sungguh bisa merasakan rasa cemas, bingung, frustasi, hingga rasa takut seperti yang dialami ketiga karakter tersebut. Aspek-aspek teknisnya yang banyak menggunakan konsep gaya dokumenter memang sangat mendukung cerita filmnya.

Semua adegan diambil menggunakan teknik handheld camera karena memang film ini dikisahkan hanya merupakan hasil edit rekaman video yang ditemukan setahun setelah mereka menghilang. Film juga menggunakan teknik hitam-putih dan berwarna secara bergantian dengan tata cahaya yang natural. Penggunaan teknik-teknik tersebut menyebabkan film ini begitu realistik seolah kisahnya benar-benar terjadi. Point of View (POV) shot dari mata kamera (sepanjang film) begitu efektif membatasi informasi hingga mampu menimbulkan unsur kejutan dan ketegangan yang luar biasa, karena penonton hanya melihat dan mendengar persis seperti apa yang dialami para karakter. Hal ini terutama tampak pada sekuen akhir yang begitu menegangkan.

Faktor kunci sukses lainnya adalah terkait dengan strategi pemasarannya. Artisan membuka website resmi yang memperlihatkan bukti-bukti nyata jika semua kejadian yang ada di film tersebut seolah sungguh-sungguh terjadi. Trailer dan poster film juga mampu mengarahkan orang jika film ini merupakan film dokumenter sungguhan. Artisan bahkan membuat sebuah film dokumenter palsu yang ditayangkan di televisi sesaat sebelum rilis yang berisi wawancara keluarga dan teman dari ketiga orang yang hilang, sejarawan, hingga paranormal. Walau kasus seperti film ini bisa dibilang amat langka namun setidaknya The Blair Wicth Project telah membuktikan bahwa film berbiaya begitu minim ternyata bisa berkualitas (inovatif) serta menghasilkan keuntungan yang demikian besar. Ayo! Kita pasti juga bisa..

M. Pradipta

No comments: