Love

Film Indonesia Terbaik di Awal Tahun?


Setelah Daun di Atas Bantal, inilah film Indonesia yang bisa bikin saya duduk manis di dalam bioskop selama dua jam. Bagi saya ini adalah kemewahan sekaligus juga keterkejutan bahwa film ini bisa begitu baik. Saya tidak menyangka bahwa film yang muncul tanpa publisitas yang intens ini mampu membuat semua yang ada di dalam frame terlihat begitu enak dan menyenangkan bahkan untuk pemain berkelas sinetron seperti Acha Septriasa sekalipun. Love merupakan remake dari film Malaysia yang berjudul Cinta yang disutradarai juga oleh sutradara yang sama, yaitu Kabir Bhatia.

Iin (Acha Septriasa) adalah seorang gadis desa yang datang ke Jakarta untuk mencari kekasihnya. Namun dia tidak tahu tepatnya di mana alamat sang kekasih. Iin pun berinisiatif untuk membuat selebaran. Iin dibantu oleh Rama (Fauzi Baadilla) seorang karyawan percetakan yang punya hobi unik mengumpulkan undangan pernikahan. Sedangkan Restu (Irwansyah) adalah remaja tanggung yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang gadis. Restu pun bertekad mendapatkan gadis tersebut yang belakangan diketahuinya bernama Dinda (Laudya Cinthya Bella). Tiga kisah lainya adalah tentang penjaga toko buku (Darius Sinarthya) dengan penulis (Luna Maya), suami istri (Surya Saputra dan Wulan Guritno) dengan anaknya yang autis, serta seorang guru (Sophan Sophiaan) yang terkena Alzheimer.


Love memiliki “multiplot”(web-of-life plot) di mana dalam film terdapat lima kisah berbeda dengan tema yang sama, yaitu cinta. Jika plot ini mengingatkan Anda kepada film Love Actually, tandanya ingatan Anda masih kuat. Dalam plot model seperti ini untuk menjaga tense masing-masing kisah membutuhkan pencapaian editing yang baik, dan film ini berhasil melakukannya. Kita seperti diajak menonton film layaknya plot linear dengan satu cerita utuh. Kisah sang guru adalah cerita yang paling solid dan dalam. Sedangkan kisah Iin dan Rama adalah kisah yang mampu mengundang tawa, di sini getir manis cinta melebur. Yang sedikit klise dan lemah adalah kisah suami dengan istrinya dan penjaga toko buku dengan penulis.

Selain Sophan Sophiaan dan Widyawati, saya menilai bahwa kemampuan akting pemain lainnya tidak bisa disebut brilian, sangat payah malah. Tetapi Bhatia mampu membuat para pemain ini menjadi enak dilihat, mereka tidak lagi bergaya robotik yang bisa meneteskan air mata. Di film ini mereka manusia-manusia yang memiliki emosi. Keberhasilan ini bisa disebut sebagai keberhasilan sebuah penyutradaraan.

Sinematografi film Indonesia yang biasanya memiliki bahasa visual yang tidak jelas tidak akan Anda temukan dalam film ini. Dalam Love Anda akan menikmati motif warna pada setiap kisah. Gerak kamera yang dinamis dan terarah, membuat gambar selain indah juga menguatkan naratifnya. Lewat bahasa visual inilah screenplay sinetron-esque-nya Titien Watimmena berbunyi. Namun film ini bukanlah tanpa kekurangan. Musik dari Erwin Gutawa terasa over the top. Dia memperlakukan film ini layaknya film bisu.

Homer Harianja

No comments: