Film Gangster dan Perkembangannya


Film gangster atau juga sering disebut “mafia film” atau “mob film” merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster umumnya berkisah bagaimana sebuah kelompok kriminal memperbesar kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin. Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas seperti senapan mesin “tommy gun”, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya.

Plot film gangster juga kadang melibatkan “kucing-kucingan” antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster. Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota-kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi “gelap” seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan lainnya.


Sejak awal perkembangan sinema di Amerika, elemen gangster telah muncul pada film-film pendek seperti The Moonshiners (1904) and The Black Hand (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. The Musketeers of Pig Alley (1912) karya D.W Griffith serta The Regeneration (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film gangster berpengaruh yakni, Dr. Mabuse, The Gambler, Part I dan II (1922-1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui Underworld (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering dianggap sebagai film gangster “modern” pertama karena menggunakan tokoh gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, The Racket (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster “bicara” pertama adalah The Ligths of New York (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota besar.

Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi besar yang melanda Amerika mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota-kota besar. Juga pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920-1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film-film gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya.

Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, Little Caesar (1930), The Public Enemy (1931), serta Scarface, The Shame of Nation (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist. Little Caesar arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan The Public Enemy, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial Scarface arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.

Adegan-adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film-film tersebut, terutama Public Enemy dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser Public Enemy berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat jika kehidupan kriminal (gangster) penuh dengan glamour dan “kesenangan“. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus Scarface mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang dinilai tidak pantas.

Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam G-Men (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film-film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam Bullets or Ballots (1936). Dalam Angels with Dirty Faces (1938) yang dibintangi Cagney, mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang bertolak-belakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.

Warner Bros yang sukses bersama Cagney kali ini mendapat lawan main sepadan dengan munculnya bintang baru yakni, Humprey Bogart. Bersama sutradara Raoul Walsh, dua aktor tersebut sukses dengan tiga film gangster yakni, The Roaring Twenties (1939), They Drive By Night (1940), dan High Sierra (1941). Karir Bogart semakin meroket dengan beberapa film noir-nya yang merupakan pengembangan dari genre gangster. Melalui film noir, genre gangster melunak dengan menitikberatkan pada aspek misteri pada plot serta pendekatan estetik yang khas. Film noir menjadi tren film kriminal hingga dekade 50-an. Bogart sukses dengan film-film noir seperti, The Maltese Falcon (1940) dan The Big Sleep (1946). Adapun film-film noir lainnya yang sukses seperti Double Indemnity (1944), The Asphalt Jungle (1950), The Big Heat (1953), hingga The Third Man (1959).

Selain film noir, genre gangster juga berkembang lebih variatif dengan film bertema penjara, Each Dawn I Die (1938), Brute Force (1947), The Defiant Ones, (1958) hingga yang paling sukses, Cool Hand Luke (1967). Sineas besar Billy Wilder sukses menggabungkan genre komedi dan gangster melalui Some Like It Hot (1950) yang dibintangi aktris seksi, Marilyn Monroe. Pada era ini adaptasi kisah nyata rupanya masih juga menjadi pilihan, seperti Machine Gun Kelly (1958), Al Capone (1959), dan The St. Valentine Day Massacre (1967). Sementara film-film kriminal-gangster lain yang menonjol sebelum era 70-an adalah On The Waterfront (1954) arahan Elia Kazan, The Killing (1956) arahan Stanley Kubrick, serta Bonny and Clyde (1967) arahan Arthur Penn.


Pada era 70-an genre gangster kembali mengulangi masa jayanya melalui film-film kriminal-gangster yang sangat populer. Francis Ford Coppola menjadi motor dengan dua film gangster yang dianggap terbaik sepanjang masa yakni, The Godfather (1972) dan The Godfather Part II (1974). Film yang mengisahkan keluarga mafia Corleone tersebut sangat sukses baik komersil maupun kritik. Keduanya bahkan sama-sama mendapatkan Oscar untuk film terbaik. Pada era ini pula sineas spesialis gangster, Martin Scorcese mulai menarik perhatian pengamat melalui Mean Street (1973), lalu karya fenomenalnya, Taxi Driver (1976). Variasi gangster yang juga populer pada dekade ini yakni, The French Connection (1971) arahan John Frankenheimer (mendapatkan Oscar untuk film terbaik), seri pertama si detektif keras, Dirty Harry (1971) yang dibintangi Clint Easwood, lalu film neo-noir Chinatown (1974) arahan Roman Polanski, serta juga Dog Day Afternoon (1975) karya Sidney Lumet.

Pada periode 80-an hingga era milenium baru beberapa sineas kawakan memproduksi beberapa film gangster berpengaruh. Martin Scorcese makin memantapkan posisinya sebagai spesialis gangster dengan film-filmnya yang keras dan brutal, yakni Goodfellas (1990), Casino (1995), Gangs of New York (2002), hingga terakhir The Departed (2006). Brian DePalma juga sukses dengan film-film gangsternya seperti, Scarface (1983), The Untouchable (1987), serta Carlito’s Way (1989). Coppola gagal menyamai sukses pendahulunya melalui penutup epik triloginya, The Godfather Part III (1990). Sementara sineas spesialis western, Sergio Leone sukses dengan film gangsternya, Once Upon A Time in America (1984).

Beberapa sineas muda juga dikenal akrab dengan tema kriminal gangster dan yang paling menonjol adalah Quentin Tarantino. Film-film Tarantino dikenal melalui penuturan plotnya yang unik serta para bintang yang bertaburan dalam filmnya. Ia memulai debutnya melalui film gangster brutal yang penuh darah, Reservoir Dogs (1992). Sukses Tarantino berlanjut dengan film fenomenalnya Pulp Fiction (1994) yang sukses secara komersil maupun kritik. Setelah Jackie Brown (1997) gagal menyamai sukses pendahulunya, Tarantino kembali sukses besar melalui seri Kill Bill Vol.1 (2003) dan Kill Bill Vol.2 (2004). Di lain tempat sineas Inggris, Guy Ricthie sukses dengan film-film gangsternya yang dituturkan dengan gaya khas, yakni Lock, Stock and Two Smocking Barrels (1998) dan Snacth (2000).


Adapun film-film kriminal-gangster lainnya yang juga menonjol pada era 90-an hingga kini seperti, Dick Tracy (1990) sebuah film gangster unik yang diadaptasi dari komik, The Usual Suspect (1995) arahan Bryan Singer, L.A. Confidential (1997) arahan Curtis Hanson, hingga Road to Perdition (2001) arahan Sam Mendes. Sineas aksi Michael Mann sukses besar dengan film bertema perampokan bank, Heat (1995) serta adaptasi film seri kriminalnya, Miami Vice (2006). Sementara sineas horor, David Cronenberg berubah haluan di milenium baru melalui film-film kriminal-gangster seperti History of Violence (2005) dan Eastern Promises (2007). Coen Bersaudara sukses dengan film gangster, Miller Crossing (1990) bersama film-film kriminal lainnya yang unik seperti, Fargo (1996), The Big Lebowsky (1998), The Ladykiller (2004), hingga peraih Oscar, No Country for Oldman (2007). Steven Soderberg juga sukses memproduksi film-film kriminal seperti Ocean Eleven (2001) bersama dua sekuelnya, Out of Sight (1998), hingga Traffic (2000). Belum lama ini sineas top, Ridley Scott juga mencoba peruntungannya dengan memproduksi film gangster, American Gangster (2007).

Sementara di Asia genre gangster berkembang dalam bentuk yang sama sekali berbeda. Di negara-negara besar seperti Jepang dan terutama Hong-Kong, gangster begitu populer dengan “yakuza film” dan “triad film”. Film-film kriminal Hongkong dipengaruhi kehidupan para triad sesungguhnya yang mengontrol segala sendi ekonomi dan hiburan termasuk industri film sendiri. Pada pertengahan 80-an, genre ini mulai populer setelah film-film seperti Long Arm of the Law (1984) arahan Johnny Mak, Brotherhood (1986) arahan Stephen Shin, City on Fire (1987) arahan Ringo Lam, dan A Better Tomorrow (1987) arahan John Woo. Film-film gangster ini mengeksplotasi penuh adegan-adegan aksinya yang khas serta menekankan pada nilai persaudaraan, loyalitas, kehormatan sesama anggota triad. Sementara John Woo mulai menarik perhatian internasional melalui film-filmnya seperti A Better Tomorrow, The Killer (1989) dan Hard Boiled (1992).

Mulai era 90-an beberapa sineas dan aktor laga kenamaan Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Chow Yuen Fat, Jet Lee mulai merintis karir dan sukses di Amerika. Film-film mereka disana pun tidak lepas dari tema kriminal dengan sentuhan aksi laga khas Hong-Kong. Sementara di Hong Kong sendiri, genre gangster masih tetap populer dengan mengubah sasaran penonton, yakni kaum muda. Satu contoh yang tersukses adalah Young and Dangerous (1996) arahan Andew Lau yang berlanjut dengan lima sekuelnya. Pencapaian sinema Hong Kong khususnya film aksi-gangster dianggap mencapai titik tertinggi melalui Infernal Affairs (2002) arahan Andrew Lau dan Alan Mak. Sukses komersil dan kritik film ini memicu produksi prekuel bersama sekuelnya, Infernal Affairs 2 dan 3 yang sama-sama dirilis setahun kemudian. Hollywood pun tidak ketinggalan turut ikut me-remake film ini melalui The Departed (2006) arahan Scorcese dan sukses meraih empat Oscar termasuk film terbaik. 

Himawan Pratista

No comments: