Menunggu Ayat-Ayat Cinta

We take it for granted that film directors are, if they so wish, in the game of recycling.
(Susan Sontag)

Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang sejatinya akan dirilis pada tanggal 29 Desember 2007 seperti yang dipromosikan dengan gencar selama ini kembali mengalami penundaan jadwal tayang. Ini yang ketiga kalinya. Hanung Bramantyo sebagai sutradara AAC memberi keterangan bahwa film tertunda karena masih adanya kendala teknis dalam proses penyelesaiannya. Hanung tidak merinci apa yang disebutnya dengan kendala teknis itu. Hanung hanya menambahkan bahwa AAC adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibanding dengan 6 film yang pernah dibuatnya sebelumnya. Film ini sepertinya telah menjadi sangat personal bagi Hanung sendiri. Membaca tulisan di blognya kita akan merasakan itu. Termasuk kekuatiran akan diterima atau tidaknya film ini. Terlebih kepada pembaca fanatik novel Ayat-Ayat Cinta, novel yang menjadi sumber adaptasi. Hanung menulis dengan emosiona beginil “Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan film dengan novelnya. Lantas jika tidak sama dengan novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam novel tidak tampak, tidak terasa.”

Lebih dalam lagi ketika Hanung kemudian menyitir kata-kata ibunya yang menurutnya terus menerus terngiang “ Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu”. Hanung tidak sedang membuat film kodian. Ini adalah idealismenya. Dia sedang membuat film yang diadaptasi dari novel best seller yang kemunculannya sangat fenomenal. Dari berita terakhir yang saya dapat, film ini akan tayang pada 28 Februari 2008.

Novel Ayat-Ayat Cinta yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang bercerita tentang seorang pemuda desa miskin bernama Fahri bin Abdillah yang merantau ke Mesir, Kairo untuk bersekolah di Universitas Al Azhar. Dalam novelnya, periode waktu yang dipakai adalah masa ketika Fahri sedang menyusun tesis untuk S-2nya. Fahri adalah sosok islam yang berlaku islam. Dalam pengenalan tokoh ini, El Shirazy memulai dengan menggambarkan karakter Fahri yang berkemauan kuat dan teguh dalam memegang janji. Hari itu sangat panas di Kairo, cuaca sangat buruk. Suhu 41 derajat celcius. Padahal hari itu adalah jadwal untuk talaqqi (belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah seorang ulama besar di Mesir. Pada Ulama besar ini, Fahri belajar ilmu tafsir dan membaca Al-quran dengan riwayat tujuh imam. Tidak sembarang orang yang bisa diterima menjadi murid Syaikh Utsman. Mereka diuji secara ketat. Yang diuji adalah hafalan Al-Quran tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Di tahun itu hanya sepuluh orang yang diterima salah satunya adalah Fahri. Di sini El Shirazy juga mengenalkan Fahri sebagai seorang yang cerdas. Pengenalan karakter Fahri menjadi sentral dan teramat penting dalam novel ini. Karakter Fahri adalah pengerak dari semua peristiwa, menjadikannya pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Pendeknya karakter Fahri adalah karakter seorang islam yang Kaffah.

Karena karakternya yang sangat sempurna Fahri dicintai oleh empat wanita sekaligus. Fahri yang juga mahir menyitir puisi-puisi romantis dari penyair Perancis, bukan cuma membuat perempuan berbunga-bunga didekatnya tapi tergila-gila bahkan jatuh koma. Lika-liku cinta, romantisme dan Fahri sebagai seorang pemuda islam yang sempurna menjadi tema besar novel ini.

Mengadaptasi novel berbobot menjadi film adalah sebuah tantangan besar bagi seorang sutradara, Susan Sontag menyebutnya sebuah kerja seni yang terhormat. Pesan dakwah yang kental dalam novel ini membuat tantangan itu menjadi ganda. Mengerti saya kemudian kenapa Hanung menjadi kuatir. Mungkin jika novel ini bukanlah sebuah novel best seller yang dalam pencapaian sastranya menurut beberapa kritikus juga bagus dan tidak punya beban dakwah, Hanung tidak akan menjadi kuatir. Hanung sebelumnya telah membuat film yang mengadapatasi dari novel yaitu Jomblo yang hanya berhasil secara komersil. Novel itu tidak mempunyai beban untuk diadaptasi menjadi film. Seperti sebuah diktum, that cinema was better nourished by pulp fiction than by a literature.

Sebagai contoh The Birth of Nation (D.W. Griffith) yang banyak dipuji sebagai film modern pertama merupakan adaptasi novel sampah karya Thomas Dixon. Sedang film Darah dan Mahkota Ronggeng (Yazman Yazid) merupakan sebuah contoh kegagalan sutradara dalam mengadaptasi novel sastra, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Louis Giannetti membuat tiga model bagaimana seorang sutradara melakukan pendekatan dalam proses adapatasi novel ke film, yaitu loose, faithful dan literal. Loose adalah pendekatan di mana sutradara hanya mengambil ide, situasi atau karakter dari sumber literatur kemudian mengembangkannya secara bebas dan independen. Contoh yang paling terkenal adalah Throne of Blood karya Akira Kurosawa yang diadaptasi dari Macbeth karya Shakespeare. Adaptasi ini dianggap berhasil malahan karena Kurosawa tidak berusaha mengikuti sepenuhnya Macbeth, kekuatannya bertumpu pada sinematik dan bukan verbal. Faithful adalah mencoba untuk menciptakan kembali sama seperti sumber literaturnya dalam bahasa film. Film-film John Huston termasuk dalam pendekatan ini. Fassbinder melakukan yang lebih ketat lagi. Dalam filmnya yang berjudul Berlin Alexanderplatz, Fassbinder sangat setia pada bukunya tidak heran kemudian jika durasi film tersebut menjadi 15 jam 21 menit. Literal biasanya merupakan adaptasi dari naskah-naskah drama.

Apapun pendekatan yang dipilih oleh seorang sutradara dalam mengadaptasi novel punya peluang sama untuk berhasil disebut film yang bagus. Film adaptasi yang bagus bukan melulu harus sama dengan bukunya. Pembaca buku harus tahu bahwa dalam film ada batas waktu dan ruang. Terkecuali ada bioskop yang mau memutar film berdurasi 15 jam seperti Berlin Alexanderplatz karya Fassbinder.

Untuk film AAC rasanya memang Hanung lebih baik setia kepada novelnya. Selain karena muatan dakwah yang kental. Keuntungan dalam pendekatan ini adalah Hanung jadi bisa berkosenstrasi penuh pada aspek sinematik tanpa perlu banyak mengutak-atik aspek naratifnya.

Hal yang akan menarik dalam film ini adalah bahasa yang digunakan. Ini jika Hanung akan tetap setia pada novelnya dan jika produsernya tidak punya ide-ide konyol seperti memakai artis kelas sinetron, Fedi Nuril sebagai Fahri. Karena tokoh-tokohnya banyak orang asing maka bahasa yang digunakan harusnya asing juga. Mayoritas bahasa yang digunakan dalam imajinasi novel adalah bahasa Arab. Tentu saja dalam novel secara tulisan adalah bahasa Indonesia. Karena media novel dan film berbeda maka tidak bisa di film hanya diimajinasikan saja dalam bahasa Arab. Dalam cerita novel, kata diproses lewat imajinasi pembacanya sedangkan dalam film kata telah diubah langsung menjadi gambar, tanpa ada hutang budi imajinasi penontonnya. Jika di film dialog yang digunakan adalah bahasa Indonesia maka film ini bisa disebut gagal. Konteks pembauran dan kultural dalam film ini sangat kental. Penggunaan dialog bahasa Indonesia akan menciderai maksud-maksud itu.

Catatan penting lain adalah romantisme yang akan dibangun oleh film ini. Romantisme merupakan elemen penting di novel. Ia adalah bagian dakwah yang penting. Dalam novel, ada penerjemahan ulang akan romantisme. Romantisme ala timur bukan barat. Romantisme yang islami. Penggambaran romantisme dalam teks menjadi terasa wajar. Lain ceritanya ketika romantisme itu muncul dalam bentuk gambar. Bagaimana sutradara akan menampilkan romantisme ini lewat gambar. Jika Aisha saja menutup auratnya saat mandi, apakah dalam film Fahri dan Aisha yang sedang berpelukan mesra di jendela sambil minum dan memandang sungai Nil akan menjadi bagian dalam adegan film? Dalam novel deskripsi romantisme di adegan jendela kamar itu begitu kuat. Ada sebuah hambatan yang harus disiasati dalam penyampaian ide pada medianya. Ketertutupan dan privasi akan menjadi keterbukaan dalam bahasa film. Mentransformasikan kata dalam novel menjadi frame pada film membutuhkan kemampuan mengolah dan mengoraganisir mise-en-scene yang baik untuk mendapatkan konsep romantisme dalam layar tanpa mengkhianati ide riomantisme islami itu sendiri. Bukankkah romantisme islam adalah romantisme yang privat?

Saya sebenarnya berharap banyak dengan film ini. Mengetahui bahwa membuat film ini bagi Hanung begitu personal membuat saya semakin ingin menontonnya. Hanung menulis bahwa AAC adalah film idealismenya. Ini tidak akan seperti film-film remaja dan horor yang banyak beredar di bioskop, begitu janji Hanung. 

Homer Harianja

No comments: