Sisi Humanis dalam Iron Man

26 May 2008 12:23 AM
Menyusul Spiderman, X-Men, Hulk, Daredevil, Electra, serta lainnya, akhirnya Iron Man, tokoh superhero tangguh Marvel yang ditunggu penggemarnya akhirnya dirilis juga. Seperti film superhero umumnya, Iron Man juga meraih sukses komersil luar biasa dengan meraih pendapatan kotor $300 juta pada peredaran seluruh dunia hanya dalam tiga minggu rilisnya saja. Film disutradarai oleh Jon Favreau serta dibintangi aktor-aktris kawakan seperti Robert Downey Jr., Gwyneth Paltrow, Terrence Howard, serta Jeff Bridges.


Seperti film superhero lazimnya, cerita film dibuka dengan menjelaskan latar-belakang kemunculan sang tokoh super. Dikisahkan Tony Stark (Downey) adalah seorang pengusaha multi bilyuner jenius yang bergerak di bidang produksi senjata militer. Digambarkan Stark adalah sosok yang begitu percaya diri, sombong, glamor, serta suka bersenang-senang dengan kaum hawa. Suatu ketika Stark pergi ke Timur Tengah untuk melakukan uji coba senjata misil ampuh ciptaannya. Dalam perjalanan pulang Stark tertangkap dan dibawa oleh pasukan tentara lokal untuk dipaksa merancang-ulang misil ciptaannya. Dengan bantuan rekan tahanannya, Yinsen, Stark justru membuat senjata rahasia berupa kostum besi untuk bisa keluar dari sana. Rencananya sukses namun dibayar mahal dengan kematian Yinsen. Sepulangnya dari Timur Tengah, Stark berubah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Mendapati informasi jika senjata miliknya ternyata masih dijual ke Timur Tengah, Stark akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri melalui rancangan kostum besinya yang kini telah ia sempurnakan.

Seperti plot film superhero lazimnya nyaris tidak ada yang baru dalam Iron Man. Elemen cerita yang menarik justru pada sosok Tony Stark itu sendiri. Mungkin baru kali ini tokoh karakter superhero sebelum berubah adalah sosok yang tidak ideal perangainya, seperti halnya Peter Parker, Bruce Wayne, atau Bruce Banner yang cenderung kalem. Setelah mengalami pencerahan batin sikap Stark pun berubah drastis menjadi sosok yang lebih “manusiawi”. Hal ini juga tidak lepas dari pilihan kasting yang sempurna pada aktor Robert Downey Jr. yang begitu pas memerankan sosok Tony Stark. Karakter Stark yang memiliki pribadi keras, empati pada sesama, cerdas, sekaligus “nekat” tercermin sempurna dalam sosok sang aktor. Tidak berlebihan rasanya jika persona Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark berhasil mendekati persona Christopher Reeves yang berperan sempurna sebagai Clark Kent.

Plot filmnya sendiri hanya menarik pada separuh durasi film dan selanjutnya cerita begitu mudah untuk ditebak. Nyaris sejak awal cerita pun karakter antagonis sudah bisa diduga. Agak aneh malah tokoh antagonis (Raza) di Timur Tengah yang awalnya menjadi sorotan utama demikian mudahnya bergeser ke sosok Obadiah. Agak disayangkan karakter tersebut disingkirkan demikian mudah dan cepatnya. Sekuen pertempuran klimaks rasanya sudah sulit untuk dinikmati karena jelas bagaimana mungkin sang pencipta bisa dikalahkan oleh ciptaannya sendiri. That’s just the way it should be

Sekuen aksi dengan dukungan penuh efek visual (CGI) kembali menjadi nilai hiburan utama film ini. Kostum unik Iron Man yang tidak seperti kostum superhero lazimnya mampu ditampilkan begitu nyata dan meyakinkan. Sementara sekuen aksi seru ketika Iron Man diburu dua pesawat jet yang disajikan begitu realistik rasanya sulit dicari tandingannya. Demikian pula aksi Iron Man di wilayah Timur Tengah ketika melawan para tentara dan sebuah tank. Sementara sekuen aksi klimaks yang seharusnya menjadi andalan justru tampak tidak istimewa dan tak ubahnya seperti pertarungan para robot dalam Transformers.

Selain penampilan memukau Downey Jr., akting para pemain lainnya terbilang dibawah rata-rata. Paltrow tidak membutuhkan energi banyak untuk memerankan karakter Pepper Potts dan lebih sebagai pemanis belaka. Demikian pula Bridges sebagai si jahat Obadiah, tata rias wajah (jenggot) dan kepalanya yang plontos jauh lebih membangun image “jahat”nya ketimbang aktingnya sendiri. Karakter Kolonel Rhodes yang diperankan Terrence Howard adalah sungguh yang paling mengecewakan. Agak mengherankan kenapa mesti mengkasting aktor sekelas Howard untuk sekedar memainkan karakter ringan dan lemah seperti ini. Justru Shoun Toub yang bermain sebagai Yinsen mampu bermain kuat dan berkesan ketimbang para pemain pendukung lainnya.

Sisi lain yang menjadi perhatian penulis adalah keberpihakan “politik” Hollywood terhadap sikap anti-perang serta menanggapi isu sentimen negatif terhadap warga Timur Tengah (khususnya kaum Arab) setelah tragedi 11/9. Film-film produksi Hollywood sebelumnya seperti Crash, The Kite Runner, Rendition, Babel, dan banyak lainnya telah menunjukkan tendensi tersebut. Namun film-film tersebut adalah film-film drama berkualitas tinggi yang notabene bukan film komersil (baca: film unggulan musim panas). Penulis untuk sesaat merasa trenyuh (baca: terharu) ketika sosok “sebesar” Iron Man turun langsung ke bumi Timur Tengah untuk menolong penduduk yang teraniaya. Sang jagoan di saat-saat genting mampu menyelamatkan ayah si bocah. Sang bocah pun menatap sang manusia besi dengan sorot mata yang penuh rasa kagum (dan harapan)…. ahh… sebuah pemandangan indah yang amat jarang tampak sepanjang sejarah medium film. That’s just the way a movie it should be… (B+)

2 comments:

Anonymous said...

Ya saya setuju dengan pak Editor.. Iron Man tidak hanya film yang mengadalkan special effect tapi juga cerita bagus, isu politik yang ditulis juga menarik.. tapi ada sedikit tambahan informasi kenapa terence howard mau menerima peran disini, karena tokoh yang diperankan kelak akan menjadi superhero juga.. jadi mungkin pada seri ini belum ada geregetnya.. :) informasi tambahan dari sumber terpercaya Iron Man 2 sudah keluar tanggal maenya 30 Aprl 2010.. ^-^

Anonymous said...

ok trims infonya....
bisa jadi benar...
mudah2an Howard masih bermain di film sekuelnya...