Keindahan Barangkali

Keindahan adalah sebentuk gelisah. Seseorang akan ragu dan dengan lugu bertanya: bagaimana menilai pispot Duchamp sebagai karya instalasi di sebuah galeri di New York atau sekerat daging-nya Danarto di TIM sebagai bait puisi? Keindahan lalu bertampuk di antara gayutan warna pelangi dan warna senja . Sewaktu seorang buta hendak mengetahui apa warna baju yang dikenakannya; seseorang mesti luput menerangkan definisi warna-warna kepadanya. Pun, dari 64 bit warna yang dikenal, galibnya hanya terdiri dari tiga warna dasar. Menerangkan warna pelangi lewat tiga warna tersebut, serasa cukup aneh juga. Menerangkan hal ini pun kerap melantunkan nada getir juga sepi. Bukankah konsep tersebut tetap berpijak pada perspektif ia yang bercerita? Keindahan akhirnya terus dirangkai sebagai obyektivikasi atas benda seni yang berwarna sepia. Demikian sesal tumpah; seniman merasa terlambat telah terlahirkan ke dunia: semua telah terkatakan, igau Sartre. Alih-alih menghadirkan suatu yang indah terletak pada pemilihan obyek, demikian seniman terus mencari cara bertutur untuk menyingkap kualitas pada setiap benda.

Estetika sebagai penilai kualitas benda seni kembali dibincangkan sebagai pewarta pengalaman manusia. Serupa bentuk penghayatan atas apa dan peristiwa, ada semacam kehendak bagi seseorang untuk melanjutkan pengalaman lain dalam bentuk yang berbeda. Yang akan dilaluinya rupanya tidak menyertakan nalar sebagai penentu kualitas benda. Nalar hanya berfungsi sebagai penimbang kuantitas benda. Sensibilitas yang partikular lalu berperan sebagai penilai sesuatu yang abstrak tersebut. Pun, bagaimana seseorang menempatkan sensibilitasnya yang partikular? Sisi lain, ia mengabaikan tanggapannya yang biasa di luar sensibilitas dimaksud? Menilai benda seni adalah satu hal; namun menghayati nilainya kemudian suatu yang lain. Sensibilitas lalu disertakan sebagai suatu yang metafisik dan tidak teraba. Pengalaman atau referensi yang bersifat individual lalu menjadi titik beranjak untuk menghayati benda seni. Pengalaman estetik lalu hadir dalam diri si penghayat sewaktu nilai yang terungkap pada benda seni bertutur suatu yang lain.

Sebagai tindak ekspresi, sinema beranjak dari saran citra. Atas peran teknologi, citra akustik lalu mengisi gigir diapositif di era sinema bersuara. Citra optik dan akustik lalu membentuk komposisi atau narasi. Ia lalu bercerita: tentang apa juga siapa.

Formalis Russia semacam Eisenstein menyarankan mestinya ada keutuhan antara obyek dan representasi dalam jalinan cerita; sembari menyertakan diagram triadik Saussurian sebagai pemahaman awal aksi-komunikasi dalam semesta bahasa: signifiant-signifié-réferent. Sebentuk obyek menjalin asosiasi dengan obyek lainnya. Jalinan tersebut kemudian mengacu representasi utuh mengenai suatu benda. Kelindan kedua obyek yang secara arbitraire atau semena-mena tersebut kemudian dianggap mewakili sesuatu yang tidak terbahasakan lewat aksi-visualisasi biasa. Antara citra air sebagai signifiant dan citra gerak pupil mata sebagai signifié merupakan réferent dari tangis ataupun isak. Sepucuk bunga sebagai penanda dan sesayat luka sebagai petanda menyajikan: simpul keindahan adalah sewaktu seseorang selalu luput menangkap rupa pada setiap benda yang dijumpainya. Bahasa sinematografis lalu dimanfaatkan: close-up, long take dan lain sebagainya.

Jika editing hanya menggabungkan pelbagai citra menjadi sebait narasi; penyelarasan (montage) memanfaatkan sisi puitik dan ekspresif citra awal yang masih mentah. Citra-citra ini kemudian terjalin secara naratif menjadi suatu yang berbeda. Upaya ini turut menyajikan bahasa metaforis atau kiasan dalam jalinan citra. Ketidaklangsungan dalam pengucapan ini kemudian menjadi pilihan bagi sineas untuk menjelaskan sesuatu. Pemirsa tidak diajak untuk menyanjungkan sesuatu yang bersifat definitif; namun pemirsa diundang untuk duduk satu meja dan berbincang dengannya. Pemahaman semacam ini menyaran relasi refleksif antara pemirsa dan sinema yang tersajikan di hadapannya.

Keindahan dan sesuatu yang belum selesai. Mencari jawab: apakah sinema sebagai fiksi atau nyata justru menjauhkan apa yang disampaikan olehnya pada pemirsa. Demikian sewaktu kisah fiktif memiliki kemiripan dengan kisah nyata; sinema kemudian tidak terlahir piatu. Ada relasi antara sineas dan kreasinya yang terenggut secara perlahan. Hanya ada relasi antara sinema dan pemirsanya. Horison harapan lalu muncul sebagai tanggapan dari pemirsa atas apa yang tersajikan di hadapannya. Pemirsa misalnya berupaya untuk mengaitkan konsep cinta sebagai siapa (qui) dan konsep cinta sebagai apa (quoi) dalam “Ada Apa dengan Cinta”.

Membincangkannya hanya akan mengurai definisi yang bersifat klise dan biasa. Sineas rupanya telah menyesal telah lahir ke dunia sewaktu injury time. Alih-alih semua telah terkatakan, memahami konsep cinta dari perspektif berbeda justru menyisakan sebentuk tegangan. Oposisi biner antara kedua hal tadi menjadi awalan untuk mencari jawab yang memadai. Cinta sebagai apa termanifestasikan sebagai singularitas absolut: “Aku mencintaimu sebab itu adalah kamu”. Aku mencintaimu sebab itulah dirimu. Sebaliknya, cinta sebagai siapa menyaran singularitas absolut beserta fakultas-fakultasnya: cantik, semampai, elok, pintar maupun serasi jika dipandang.

Memahami konsep cinta sebagai apa rupanya niskala untuk dibicarakan. Ia hanya menyajikan sikap intuitif yang menyaran aktivitas: mencari atau menemukan. Konsep tersebut lalu gugur sewaktu cinta diawali oleh munculnya berahi dan bujuk rayu. Cinta kemudian berlanjut dengan ungkapan yang menyaran penghambaan tubuh serta kualitas-kualitas lain yang dimiliki oleh seseorang.

Dua hal menjadi titik pusat: cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dan konsep cinta yang menyaran tema cerita. “AADC” kemudian menyanjung tajuk yang bersifat mendua. Cinta sebagai pemeran cerita menyanjung cinta sebagai subyek partikular yang dihasratkan oleh Rangga. Cinta sebagai tema cerita menyingkapkan adanya suatu hal atau persitiwa dalam konsep cinta: pertemuan dan perpisahan. Cinta yang pertama mengacu subyek partikular yang terimbas identitas: nama. Cinta yang kedua menyertakan konsep yang diyakini keberadaannya bagi mereka yang sedang dan telah melaluinya.

Antara cinta pertama dan kedua kemudian muncul sikap mendua; sewaktu keduanya dihadirkan secara bersama-sama. Konsep cinta sebagai penanda berjalin dengan si Cinta sebagai petanda. Jalinan semacam ini kemudian membentuk citra tujuan yang utuh: si cinta sedang jatuh cinta. Sewaktu si cinta terabuk oleh asmara, ada pelbagai peristiwa yang melatarinya: pertemuan dan perpisahan. Sesaat cinta hadir, pelbagai hal muncul sebagai konsekuensi kedua hal tadi: antara benci, rindu hingga cemburu. Ketika kesemuanya hadir: apakah Rangga dan si Cinta memahami konsekuensinya? Bagaimana menerangkan pertemuan jika mesti ada perpisahan? Ataukah keberlanjutan perpisahan hadir sewaktu ada pertemuan lainnya? Definisi cinta dan pemahaman si Cinta lalu berbalik kepada dirinya sendiri. Si Cinta selalu luput terpahami sewaktu ia sedang jatuh cinta; sedangkan cinta masih berwujud suatu yang terus dicari. 

F. Taftazani

1 comment:

Anonymous said...

Bung, "Sekerat daging" di TIM itu instalasi puisi Sutardji yang berjudul "luka", bukan Danarto. Sedang karya Danarto sendiri berupa gambar petak sembilan yang ia akui sebagai sebuah puisi.