Dokumenter dan “Pembungkusnya”


Melakukan perjalanan dengan mencatat berbagai peristiwa melalui berbagai cara tentunya memiliki keasyikan tersendiri, Seperti yang dilakukan oleh Christopher Columbus sampai Ibnu Batuta, mereka memiliki jurnal perjalanan yang pada akhirnya menjadi bukti kehebatan sejarah kehidupan mereka, yaitu tentang filosofi dan keinginan mereka untuk menceritakan apa yang mereka lihat dan rasakan.

Perkembangan teknologi saat ini semakin memudahkan kita untuk saling berhubungan satu sama lain. Melalui foto atau video, kita dapat membuat catatan perjalanan dalam sebuah web log atau lebih dikenal dengan sebutan blogger, hingga catatan perjalanan itu bisa dibaca dan dilihat oleh banyak orang di seluruh dunia.

Kita tidak perlu melalukan perjalanan menuju Timbuktu atau Papua New Guinea seperti yang dilakukan Kira Salak seorang penulis traveling yang mendapatkan penghargaan dari National Geographic Emerging Explorer dan PEN Award, karena mendokumentasikan kisah perjalanan baik melalui tulisan, foto, ataupun video merupakan pengalaman personal masing-masing orang. Sekalipun kita sama-sama menuliskan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, tentu saja gaya mengemas tulisan akan berbeda satu sama lain.

Mengapa orang melakukan catatan perjalanan baik dalam bentuk tulisan (blog), foto, maupun video, karena itu semua merupakan suatu usaha untuk “membungkus” kenangan atau menyimpan sejarah dari apa yang kita alami. Sewaktu melakukan perjalanan berkeliling Asia dan Eropa, selain melakukan penulisan dalam blog, saya juga melakukan dokumentasi dalam bentuk video untuk merekam setiap perjalanan yang saya tempuh. Membuat film dokumenter boleh dibilang gampang-gampang susah. Membuat film dokumenter diperlukan kepekaan insting yang kuat karena si pembuat film tidak mengolah set dan adegan. Semua kembali kepada sang sineas bagaimana ia mampu mengolah apa yang ia lihat melalui teknik-teknik bahasa visual yang bisa mewujudkan apa yang ia rasakan dan lihat.

Film dokumenter boleh jadi tidak semurni yang kita tonton. Entah banyak atau sedikit, selalu ada faktor “tangan-tangan” sineas yang mengolah rupa “adegan” sesuai tuntutan yang ada. Ide untuk membuat film dokumenter yang mendekati realitas bisa kita ambil contoh dari karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq semasa perang berlangsung, lalu dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri tanpa campur tangan dari sineas.

Cara yang unik dalam kasus diatas juga dilakukan stasiun TV Hongkong (RHTK). Saat mereka mengolah sebuah traveling show di kota-kota menarik di Asia, cara yang mereka lakukan agar lebih masuk ke kultur bersangkutan adalah dengan memakai host (pembawa acara) setempat. Dan ketika saya yang saat itu menjadi host mereka di Yogyakarta mengenalkan kota ini lewat acara tersebut, saya tidak menyangka melihat hasilnya yang berlawanan sekali dengan prinsip dokumenter yang menuntut realisme, lantaran film tersebut seluruh dialognya tidak memakai bahasa setempat. Bisa anda saksikan tayangan tersebut di streaming internet (http://www.rthk.org.hk/rthk/tv/journey/20081227.html) bagaimana saya dan tukang angkringan berbahasa cantonese dengan fasihnya. Ah...ada-ada saja.

Andrei Budiman

No comments: