Seikat Kata dari Perjalanan ke Prancis

Berangkat dari undangan rekan saya yang bergerak di bidang pemberdayaan budaya di Eropa sekaligus pengamat budaya di Asia, saya berkesempatan mengunjungi negara Prancis untuk mengamati sekaligus mendapatkan pembelajaran tentang bidang seni yang kini tengah saya geluti, yaitu bidang sinematografi. Pembelajaran (workshop) yang saya dapatkan bersama dengan rekan lain dari berbagai negara di Université de Lumière Lyon II tersebut, membuka banyak wacana kontemporer tentang sinema yang selama ini saya enyam di dunia pendidikan di Indonesia. Impian saya dalam workshop ini terutama tentang ranah produksi tampaknya masih jauh dari angan semata; karena workshop kali ini lebih menekankan aspek sejarah dan nilai yang terkandung dalam dalam sebuah sinema; berbalut Estetika maupun Tema.

Cinema is born at France”(Cinéma est né en France), demikian ungkapan François Tailandier salah satu pemberi materi workshop, sembari menggerakkan jarinya seperti mengutip. Bisa ditebak selanjutnya, hari-hari workshop selalu dimeriahkan oleh diskusi-diskusi panjang (saya menyebutnya sebagai brain-washing day). Terlepas dari bentuk kekecewaan adanya produksi film bersama, akhirnya saya merasakan antusiasme atau mungkin bentuk euforia dalam keseharian saya membahas sejarah sinema Perancis. Pembahasan dimulai dari gerakan New Wave (Nouvelle Vague) yang terbagi dalam dua periode. Periode awal (1958) mengedepankan beberapa nama-nama sebagai Bart Director yang banyak menentang garis-garis penekanan estetik film pada masa itu. Mereka juga masih menekankan pada aspek naratif yang kental, di satu sisi. Mereka adalah Jean-Luc Goddard, François Truffaut, Claude Chabrol, Eric Rohmer, dan Jacques Rivette yang membalut sinemanya dengan estetika “baru”: estetika kedalaman dalam mise en scène dan penolakan akan estetika naratif yang terlalu teratur.

Bahkan beberapa pengajar dan mahasiswa film di sanapun mengapresiasikan berlebihan pada sosok Goddard sebagai Santo. Saya mulai mengingat gelombang New Wave kedua (Pemberontakan Mahasiswa) di Paris dan sekitarnya pada tahun 1968 yang pada akhirnya mengubah tatanan maupun ranah sosial, budaya, juga industri. Fenomena sosial tersebut juga memberikan ruang kebebasan sinematik bagi para sineas yang akhirnya bermuara pada kebijakan maupun inisiatif pemerintah Prancis untuk memberikan subsidi silang bagi sineas pemula dalam bentuk (regeneration program). Inisiatif pemerintah tersebut juga memberikan kontribusi dalam pengembangan film-film artistik. Dan kesemuanya berlandaskan pada asas kebebasan berekspresi. Sisi lain, Goddard dan beberapa sineas pada masa itu lebih menekankan aspek estetika mereka pada own style, gaya bertutur masing-masing personal sutradara (theorie de l’auteur) yang secara tidak langsung bersifat konservatif (one man show).

Terlepas dari adanya sesuatu maupun situasi paradoksal tersebut, saya mencoba mengaca pada sejarah perfilman Indonesia yang tentunya bukan pada skala periodisasi. Dan tentunya banyak orang mengerti benar akan kebangkitan dan mati surinya perfilman kita. Melihat sejenak aspek kualitas sinema Indonesia (bukan kuantitas), ada banyak ketidaksesuaian atau kesalahpahaman estetika, atau sekedar meminjam istilah bahasa Prancis, mise en scène dalam sebuah karya atau sinema yang dibuat. Pengerucutannya terjadi pada Festival Film Indonesia (FFI) 2006. Dan dipandang ada ketidakpuasan terhadap penjurian maupun keputusan juri yang terlihat kasak-kusuk (istilah tersebut untuk menghindari sarkasme semacam perang kata atau adu mulut). Semua hal yang menjadi permasalahan adalah pada aspek estetika dan tematika yang sayangnya tidak ada kesepahaman antara satu sama lain. Adakah yang bisa menjelaskan pada saya absolutnya Estetika juga ranah Tema yang menjadi standar penjurian?

Sekembalinya dari workshop tersebut (baca: cuci otak), saya tidak lagi merasakan gairah yang menggebu dalam memproduksi sebuah sinema. Dan hal tersebut bukan berarti sikap pesimis; namun hanyalah kemalasan yang timbul jika sekedar kembali menjadi cetakan-cetakan yang sama atau pekerja-pekerja baru sinema dan bukan menjadi pemikir-pemikir baru (pioneer) atas apa yang dibuatnya. Rekan saya pernah mengatakan film Indonesia akan dikenal dan berjaya jika saja ada satu film yang masuk nominasi Oscar (at this moment, I just wish a falling star, please).

Saat ini, setelah mengikuti perhelatan Festival Sinema Prancis 2007, hal yang menyenangkan sebagai pelajar di bidang bersangkutan, adalah keikutsertaan saya dalam rangkaian program festival tersebut dan press-release yang saya tulis ini (but, wait!). Terlepas dari gairah menonton film-film di festival di tahun ini, lagi-lagi membuat saya bertanya: mengapa harus ada penilaian dari insan perfilman kita? Artis kita? Mungkin saja saya yang terlalu bodoh dan tidak memberikan sedikit kesempatan kepada mereka untuk memberikan penilaian; lalu menentukan apa dan siapa: film terbaik, artis terbaik, dst.

Tahun ini, artis-artis muda kita duduk sebagai juri dan mereka ikut serta dalam pemilihan artis terbaik. Ben..hmm ada Joshua, Ardina Rasty dan Olga Lidya yang barangkali memiliki kompetensi atau kemampuan dalam menentukan aktor-aktris berkelas macam Audrey Tatou yang hors de prix (priceless) dan aktris besar Perancis lainnya. How come? …Anyway, let it flows as earth is dying.

P.S. :
Rekan saya nyaris mengamuk ketika saya tiba. Tugas kampus yang disodorkan mengharuskan saya dan rekan lain membuat sebuah film. Sebelum terjadi brain-storming besar-besaran dan euforia yang membakar semangat, pada masa pra produksi saat itu saya akhirnya membukanya dengan kalimat: “Nah teman, sepertinya kita sudah siap kembali “beronani”, bukan?”

Andrei Budiman

1 comment:

Putri Wanasita said...

andrei, my fav writer :p