Berbagi Suami


Poligami yang Hablur 

Masalah Poligami rupanya masih menjadi topik menarik untuk diangkat. Kali ini melalui film Berbagi Suami, Nia Dinata mencoba menggambarkan berbagai masalah dalam praktek poligami di kota besar. Film dibagi dalam tiga segmen cerita yang berjalan simultan dengan latar belakang yang berbeda. Segmen pertama merupakan praktek poligami di kalangan atas, segmen kedua di kalangan bawah, dan segmen ketiga di kalangan keturunan Tionghoa. Seluruh segmen dituturkan melalui sudut pandang salah satu istri, berturut-turut, istri pertama, istri ketiga dan terakhir istri simpanan. Cerita dalam tiap segmennya berjalan dengan tempo cepat dan tiap kali dijejali dengan informasi-informasi baru tanpa sedikitpun memberikan waktu bagi kita untuk mengambil nafas. Kejutan demi kejutan terus bermunculan hingga mencapai titik balik sekitar pertengahan segmen kedua. Seluruh informasi yang masuk setelahnya sudah bukan lagi kejutan dan cenderung melelahkan. Segmen ketiga hanya merupakan pertunjukan visual semata tanpa mampu lagi dicerna oleh otak dan pikiran kita.


Dari ketiga kisah yang disajikan, kisah kedua bisa dibilang merupakan segmen yang terbaik. Walau hanya dibatasi dengan ruang gerak yang terbatas namun cerita dapat berkembang begitu utuh dan kompleks. Bisa dibayangkan satu rumah kecil dengan satu orang suami bersama tiga orang istri dan lima orang anak (atau lebih). Kunci kekuatan episode ini terletak pada permainan akting para pemainnya yang matang. Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka dan Shanti dengan karakternya masing-masing yang unik mampu menghidupkan suasana tiap adegannya dengan begitu enerjik. Adegan demi adegan berjalan penuh dengan nuansa komikal yang segar seperti ketika adegan Mbak Sri melahirkan, malam pertama Siti, percintaan Mbak Dwi dan Siti, lengkap dengan suara-suara desahan di malam hari. Dialog pun bergulir sederhana namun efektif dan pas untuk tiap karakternya. Tercatat penampilan Rieke sebagai sosok Dwi adalah yang paling menonjol. Tanpa menggunakan banyak dialog, Rieke mampu menggunakan bahasa tubuh bersama asap rokoknya untuk berkomunikasi dengan penonton. Satu-satunya kelemahan segmen ini mungkin pada logat jawa yang digunakan terasa agak kaku.


Dari sisi cerita tmpak bahwa Berbagi Suami memiliki tendensi sikap anti-poligami. Kenyataannya memang film ini banyak menyinggung bermacam dampak negatif poligami seperti cekcok antara suami-istri, persaingan antar istri, konflik antara anak-orang tua, masalah ekonomi, banyak anak, hubungan sesama wanita dan sebagainya. Film juga memberikan kesan kuat bahwa poligami hanya untuk memenuhi tuntutan biologis (fisik) semata. Kaum wanita semata-mata hanya digambarkan sebagai subyek namun anehnya mereka juga tampak menikmati hal ini. Hal ini memang manusiawi namun justru mengaburkan pesan anti-poligami itu sendiri. Bagi kaum pria film ini bisa jadi justru memberikan gambaran yang kuat pada mereka tentang nikmatnya berpoligami. Terlebih para istri digambarkan memiliki sosok fisik yang menarik. Ataukah film ini memang sengaja berada di tengah-tengah untuk mengungkapkan realitas sosial semata. Entahlah. Berbicara realitas sosial, beberapa pesan kemanusiaan yang disinggung seperti bencana dan bantuan ke Aceh serta pesan KB juga lebih sekedar merupakan tempelan belaka atau iklan layanan masyarakat (KB).

M. Pradipta