Public Enemies, Film Aksi-Gangster dalam Kemasan “Dokumenter”

19 Juli 2009,

Public Enemies merupakan film aksi gangster arahan sineas kawakan Michael Mann. Film ini diadaptasi dari buku non-fiksi Public Enemies: America's Greatest Crime Wave and the Birth of the FBI, 1933-34 karya Bryan Burrough. Michael Mann seperti kita tahu pada dekade lalu telah memproduksi film-film kriminal berkualitas macam Heat (1995) dan The Insider (1999). Film ini dibintangi oleh dua aktor megabintang saat ini, yakni Johnny Depp dan Christian Bale, didampingi aktor-aktris papan tengah, seperti Marion Cotillard, David Wenham, Billy Crudup, serta Stephen Dorff.

Cerita film didasarkan atas kisah nyata berlatar tahun 1933 ketika Amerika mengalami masa-masa suram akibat depresi besar serta kriminal yang semakin merajalela. John Dillinger (Depp), Baby Face Nelson, dan Pretty Boy Floyd tercatat adalah para perampok bank paling dicari di Amerika. Pihak FBI menunjuk agen Melvin Purvis (Bale) untuk memburu Dillinger dkk setelah belum lama ia sukses memburu Floyd. Sepanjang filmnya menggambarkan sepak terjang Dillinger dalam aksi perampokan bank serta usaha Purvis mengejar para kriminal.

Tidak banyak yang bisa kita bicarakan tentang plot filmnya. Plotnya memiliki banyak kemiripan dengan arahan Mann sebelumnya, Heat. Bedanya hanya lebih ringkas. Hampir tigaperempat durasi filmnya hanya murni memperlihatkan aksi kejar-mengejar serta kucing-kucingan antara Dillinger dkk dan pihak FBI. Adegan demi adegan mengalir dengan singkat dan jarang berlama-lama dengan karakter-karakternya. Alur cerita yang demikian cepat tidak memberi kesempatan pada penonton untuk larut pada tiap karakter dalam filmnya. Bahkan hingga bumbu roman pun disajikan dengan ringkas. Coba simak bagaimana Dillinger dengan cepat mampu memikat hati Billie Frechette (Marion Cottilard), wanita yang baru saja ia temui, untuk menjadi pasangannya. Hasilnya, chemistry yang terbangun diantara keduanya begitu rapuh bahkan hingga akhir filmnya. Satu lagi momen penting ketika Dilliger bertatap muka untuk pertama kalinya dengan Purvis. Momen yang mestinya terasa sangat-sangat emosional hanya terasa datar-datar saja. Coba bandingkan dengan Heat ketika karakter Al Pacino dan Robert De Niro untuk pertama kali bertatap muka, adegannya sederhana namun mampu tersaji begitu emosional. Entah apa maunya sang sineas yang jelas film ini sama sekali tidak menekankan unsur dramatiknya.

Plot yang semata-mata menekankan pada aksi semakin komplit dengan penggunaan teknik handheld camera serta format digital (HD). Sang sineas kali ini mencoba berbeda dengan tidak menggunakan format seluloid (35mm) lazimnya, dan hasilnya, gambar yang tersaji memiliki tone “buram” layaknya dokumenter (berita tv). Teknik handheld camera plus format digital mampu menyajikan gambar yang memiliki nuansa realisme begitu kental. Kombinasi teknik ini tampak begitu istimewa terutama dalam sekuen-sekuen aksinya. Sekuen tembak-menembak di jalanan tersaji begitu realistik seolah “live” terpampang langsung di mata kita. Satu lagi aspek teknis yang sangat mendukung adalah efek suara rentetan senjata mesin yang begitu meyakinkan sehingga seolah aksi tembak-menembak benar-benar terjadi di dekat kita. Dijamin suara-suara tembakan akan mampu membuat Anda kaget setengah mati dan meloncat dari bangku penonton.

Bicara kasting siapapun pasti berharap banyak dari adu akting antara dua superstar masa kini, yakni Depp dan Bale. Namun nyatanya, naskah yang minim unsur drama dan lebih menekankan aksi membuat penampilan dua aktor tersebut jauh di bawah performa mereka. Depp sebagai Jack Sparrow (Pirates of the Carribean) masih jauh lebih berkarisma ketimbang karakter John Dillinger. Depp sendiri sepertinya masih kurang beringas, dingin, dan kejam sebagai sosok Dillinger. Sementara nasib Bale tidak berbeda jauh sekalipun kali ini ia bisa lepas dari karakter Bruce Wayne (Batman). Mereka berdua rasanya telah berakting maksimal dalam filmnya. Mann sepertinya ingin mencoba mengulang sukses Heat yang mengadu akting dua legenda Hollywood, De Niro dan Pacino, namun treatment plot filmnya kali ini jelas tidak memungkinkan para pemainnya untuk mencapai hal serupa. Jika De Niro dan Pacino yang bermain sekalipun rasanya hasilnya akan sama.

Public Enemies rasanya lebih pas disebut film aksi ketimbang gangster. Suara rentetan senjata dan deru mesin kendaraan lebih banyak berbicara ketimbang dialog. Pendekatan sinematik yang menggunakan tone “dokumenter” justru semakin memberi jarak antara tokoh-tokohnya dengan kita (penonton). Kita seolah seperti melihat reka-ulang peristiwa masa silam (sejarah) yang dirancang begitu apik. Bisa jadi unsur realisme inilah yang ingin dicapai sang sineas, nyatanya memang kemasan filmnya jauh lebih menarik ketimbang isi (cerita) filmnya. Sebagai kata penutup, saya adalah pengagum berat Heat dan The Insider namun setelah dua film ini sang sineas sepertinya telah kehilangan sentuhannya. (B-)

3 comments:

homer said...

aku ngasih 'c' aja mas. kuciwa berat. hampir gak peduli dengan karakter2nya, padahal versi terdahulu scene dilinger dibredel di depan bioskop itu bener2 bikin sesak dada.

editor said...

iya bener mas.. keliatan mmg yang mau dicapai mann sense realism-nya.. semi-dok/fiksi... sayang banget pdhl kalo dramatiknya kuat bisa potensi oscar nih film... not bad but i don't like it...

Unknown said...

Dan sy baru nonton film ini di penghujung 2017. Hahaa..