Knowing, Antara Supernatural, Fiksi Ilmiah, dan Falsafah Agama

7 April 2009,
Knowing merupakan film thriller-fiksi ilmiah garapan Alex Proyas. Proyas sebelumnya kita kenal melalui film-film fantasi dan fiksi ilmiah yaitu, The Crow (1994), Dark City (1998), dan I Robots (2004). Dari sisi pemain Knowing hanya memasang satu aktor bintang, yakni Nicholas Cage. Uniknya juga, film fiksi ilmiah ini diproduksi oleh studio independen, Summit Entertainment yang baru lalu sukses besar dengan film roman fantasi, Twilight (2008).

Alkisah Profesor John Koestler (Cage) adalah seorang ilmuwan dan pengajar astrofisika yang kehilangan kepercayaannya pada Tuhan sepeninggal istrinya beberapa tahun silam. Suatu hari dalam perayaan 50 tahun sekolah putranya, Caleb (Chandler Canterbury), sang putra mendapatkan sebuah surat aneh berisi angka-angka yang ditulis oleh seorang siswi sekolah bernama Lucinda Embry, lima puluh tahun yang lalu. Kostler yang tanpa sengaja membaca surat tersebut mencoba mencari pola dari angka-angka yang ditulis. Hasilnya sungguh diluar dugaan sang profesor. Ternyata angka-angka tersebut mampu memprediksi dengan akurat waktu terjadinya sebuah musibah/bencana serta jumlah korban jiwa yang terjadi dalam lima puluh tahun ke depan. Sang profesor berusaha menyibak misteri dibalik semua ini sebelum segalanya terlambat.
..

Salah satu hal yang unik dalam film ini adalah kombinasi antara unsur supernatural serta fiksi ilmiah. Lebih dari tigaperempat durasi film, penonton dibawa untuk mengikuti petualangan sang profesor dalam mengungkap misteri ramalan Lucinda melalui nuansa semi-horor. Film ini layaknya film-film garapan M. Night Syamalan yang bertutur dari sudut pandang tokoh utama (sang profesor) dengan memadukan unsur misteri, thriller, horor, serta supernatural. Tidak hingga seperempat durasi akhir, film ini memberikan sebuah kejutan besar (unsur fiksi ilmiah) yang merubah semua prediksi cerita sejak awal.

Film ini berisi beberapa sekuen bencana yang sangat menawan. Dalam filmnya tercatat tiga sekuen bencana besar, yakni di awal, pertengahan dan akhir filmnya. Walau rekayasa digital (CGI) tampak sedikit kasar namun secara visual masih mampu menyuguhkan sebuah aksi yang cukup meyakinkan (mengerikan), seperti ketika sebuah pesawat terbang komersil yang menukik tajam ke bumi, serta musibah di stasiun bawah tanah. Sekuen klimaks sekalipun tidak lagi orisinil (Terminator 2 dan The Independence Day) namun dijamin mampu membuat bulu kuduk kita merinding membayangkan jika mimpi buruk ini benar-benar terjadi.

Proyas secara tema masih mengambil substansi cerita yang sama seperti dua film sebelumnya, yakni I Robot dan karya brilyannya, Dark City. Dark City bisa dianggap sebagai salah satu film fiksi ilmiah terbaik sepanjang masa. Dalam dua film ini sineas mencoba menggambarkan sosok “juru selamat” dalam dua latar cerita yang berbeda. Kali ini kembali sineas mampu mengemas dengan gayanya yang unik dan berkelas. Sekalipun masih dalam kemasan fiksi ilmiah namun sineas menggunakan pendekatan yang sedikit berbeda dengan dua film sebelumnya. Sineas lebih jauh mencoba melakukan interpretasi “semesta” melalui sudut pandang religius (agama) dengan pendekatan yang lebih realistik (masa kini). Sineas dengan jeli memanfaatkan tanda-tanda akhir jaman yang belakangan menjadi tren lalu memadukannya dengan unsur fiksi ilmiah. Tak sulit menafsirkan Caleb dan Abby sebagai sosok “manusia terpilih” (Adam dan Hawa) yang menjadi awal kehidupan baru bagi umat manusia , lalu sosok asing di akhir film adalah simbol sang “Maha Mengetahui”, dan sisanya adalah manusia-manusia “berdosa” yang terbakar di “neraka”. Apakah umat manusia (bumi) sudah tak layak lagi untuk diselamatkan? Sekali lagi, film ini hanyalah interpretasi (sineas) tentang kehidupan dan alam semesta, sang sineas dengan berani menjawabnya dengan kata “Ya”. (A)

2 comments:

Anonymous said...

Why its great movie for me..

Beberapa hari sebelum saya menonton film ini, saya sempat bercerita kepada seorang teman mengenai "imajinasi" saya. Di sana saya ber"imajinasi" bahwa pada tahun 2012, di matahari akan terjadi sebuah gempa kecil yang menyebabkan terjadinya "flare". Akibatnya tidak terduga, di "imajinasi" saya "flare" tersebut menjalar hingga kebumi yang menyebabkan bumi akan terserang gelombang panas yang sangat dahsyat.

That time, I even dont have any idea what the film is all about.

So ? dapatkan anda bayangkan betapa terkejutnya saya ketika menonton film ini ? well, for seconds.im shocked,but then i calm down and enjoy the films.It turns out to be a great films, for me and i think for E.E .. everyone else..YOU!!

So? do you think youre one of the "chosen one"..if not? you better start to listen to the "Whisperer"..coz "IT" gonna blow us real hard my friends

Anonymous said...

Setelah saya melihat film ini dan berdiskusi dengan rekan2 saya sependapat dengan editor Lebih dari tigaperempat durasi film, penonton dibawa untuk mengikuti nuansa semi-horor. Dimana dengan menyakinkan sutradara dapat membawa penonton untuk hanyut dalam alur cerita.Tetapi setelah lama kelamaan saya baru menyadari bahwa kemana arah dari film ini.Disini kelebihan dari film ini dimana sang sutradara dengan piawai dapat mentranformasikan suatu perpindahan alur cerita yang tidak terduga sama sekali .....( walupun ada petunjuk eee ... ).Sayang mungkin dikarenakan saya baru saja melihat TDTEST tema yang diangkat tidak ada yang baru dan bisa jadi merupakan trend ... + cgi cukup kasar ( mungkin karena film independen ) saya lebih memilih dark city ( C+ ) rodriquez.jr