3 Doa 3 Cinta, Kisah Tentang Pesantren yang Dangkal

22 Desember 2008,
3 Doa 3 Cinta merupakan karya debut sineas Nurman Hakim yang sekaligus juga sebagai penulis naskahnya. Kisah filmnya merupakan semi-otobiografi dari sang sineas yang konon pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Film ini dalam ajang Festival Film Indonesia (FFI) baru lalu mampu meraih tujuh nominasi Piala Citra, termasuk nominasi Film Terbaik. Film ini didukung pula dua bintang muda besar, yakni Nicholas Saputra dan Dian Sastrowardoyo, serta beberapa pemain lainnya seperti, Yoga Pratama, Yoga Bagus, Butet Kertarajasa, serta Jajang C. Noer.

Kisah filmnya berpusat pada tiga orang santri muda di sebuah pondok kecil di wilayah Bantul, Yogyakarta, yakni Huda (Saputra), Rian (Pratama), Syahid (Bagus). Mereka bertiga bersahabat baik serta memilikinya mimpi dan harapannya masing-masing. Huda ingin mencari ibundanya ke ibukota yang telah beberapa tahun meninggalkannya; Rian ingin melanjutkan usaha video syuting almarhum ayahnya; sementara Syahid dipusingkan dengan biaya pengobatan ayahnya yang tengah dirawat di rumah sakit. Ketiganya lalu menemukan jalannya masing-masing. Huda bertemu seorang penyanyi dangdut lokal bernama Dona Satelit (Sastrowardoyo) yang membantu mencarikan lokasi ibunya, Rian mendapat hadiah dari ibunya sebuah handycam yang ia gunakan untuk merekam keseharian mereka di pondokan, sementara Syahid yang frustasi dengan biaya pengobatan ayahnya memilih untuk bergabung bersama kelompok Islam radikal dengan skema besarnya.

Kisah filmnya sejak awal hingga akhir berjalan datar (menjemukan) tanpa adanya konflik yang berarti. Sineas tampak sekali hanya ingin menggambarkan keseharian para santri di pesantren namun tanpa adanya konflik yang menonjol menjadikan semua kisahnya menjadi serba tanggung. Tiga plot utamanya juga tidak mampu digali lebih dalam sehingga sulit untuk bersimpati dan berempati dengan tokoh-tokohnya. Masalah yang dihadapi Huda, Rian, dan Syahid dipaparkan begitu dangkal sehingga tidak memberi kesan bagi kita sebagai problem besar bagi mereka. Konflik cerita juga berjalan sendiri-sendiri, tidak berkaitan satu sama lain dengan eksekusi akhir yang terlalu mudah bahkan cenderung konyol. Tulisan (harapan) mereka di dinding belakang pesantren yang menjadi kunci plotnya juga tidak mendapatkan porsi yang memadai.

Konflik Syahid misalnya, sebenarnya berpotensi bisa digali lebih dalam namun informasi cerita dipaparkan begitu minim melalui beberapa adegan saja, yakni ayahnya yang sakit, “bule kafir” yang membeli tanah ayahnya, serta hubungan Syahid dengan kelompok Islam garis keras dengan skema besar yang tak jelas. Semuanya menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang tidak mampu kita jawab. Syahid yang telah bulat tekadnya untuk mati syahid (mungkin niatnya meledakkan diri bersama si bule) mendadak sirna setelah semua biaya pengobatan ayahnya ditanggung si bule. Masak sih masalah hidup atau mati bisa ditinggalkan semudah ini, organisasi teroris macam apa ini? Lalu aneh sekali jika Syahid tidak mencari tahu siapa orang yang telah menolong ayahnya. Selesai masalah ayahnya, mendadak Romo kyai, Huda, Rian, serta Syahid ditangkap polisi dan dituduh sebagai teroris. Apa pula ini? Kenapa hanya mereka yang ditangkap? Siapa yang mau percaya jika polisi melakukan tindakan gegabah seperti ini tanpa penyelidikan selayaknya?

Sementara masalah-masalah lain yang muncul, seperti skandal hubungan sesama jenis, ambisi Dona, asmara putri pak kyai, dan lainnya juga hanya tampak sebagai tempelan (kadang dipaksakan) tanpa bisa menyatu dengan plot keseluruhan. Kisah asmara antara Huda dan Dona yang pastinya diharapkan penonton muncul ternyata hanya sebatas angin lalu. Seluruhnya masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab akibat motif serta logika cerita yang lemah.

Tidak kalah buruknya adalah pencapaian teknisnya. Satu aspek yang boleh dibilang paling buruk (kasar) adalah pencapaian editingnya. Penyisipan beberapa adegan/shot pada alur cerita yang tengah berjalan kerap tak jelas maksud dan fungsinya. Pada sebuah adegan mendadak disisipi shot ketika Dona menelpon rekannya di Jakarta untuk meminta mencarikan alamat ibunda Huda. Kenapa shot ini tidak disajikan lebih awal? Apakah ini berarti sebelumnya Dona memakai uang Huda untuk kepentingannya? Semua masih tak jelas. Pada satu adegan ketika Rian menonton layar tancap di pasar malam mendadak dipotong (crosscutting) secara kasar dengan shot pelecehan seksual seorang santri senior pada seorang santri muda. Coba apa hubungan dua shot ini? Sineas juga berulang-kali bereksperimen menggunakan teknik long take, seperti pada adegan di depan makam yang memperlihatkan empat karakter bergantian dalam satu shot. Sebuah usaha inovatif yang tampak janggal (out of tone) terlebih pada satu momen frame dibiarkan kosong beberapa saat. Coba apa bedanya jika digunakan transisi shot biasa?

Naskah yang lemah serta terlalu dangkal menjadi kunci utama kegagalan 3 Doa 3 Cinta. Naskah yang buruk juga turut memperlemah penampilan para pemainnya. Tiga pemain utamanya tampak jelas terlalu tua untuk peran mereka. Sang bintang, Dian Sastrowardoyo yang kali ini tampil beda hanya muncul sebagai pemanis belaka. Latar pondokan yang kecil dan sepi juga sama sekali tidak mampu menghadirkan suasana pesantren yang diharapkan. Pesan moral? Hhmm… Anda bisa beri komentar sendiri. Sungguh amat disayangkan mengingat para pemain serta kru yang terlibat dalam film ini adalah orang-orang yang dianggap telah mapan di industri film kita. Sebagai kata penutup, 3 Doa 3 Cinta rasanya lebih pantas dan banyak bermanfaat jika dipertontonkan (road show) untuk murid-murid pesantren tingkat dasar dan menengah. Sebagai pecinta film, penulis menganggap film ini adalah satu bentuk pembodohan penonton serta merendahkan medium film itu sendiri.

21 comments:

Anonymous said...

Dangkal! Yup setuju sekali …banyak hal yang ingin di sampaikan sang sineas; pesantren, poligami,islam radikal dengan syahidnya, hubungan sesama jenis, pencarian sosok ibu, impian…. Terlalu banyak tetapi tidak ada jalinan yang kuat….. saya jadi bertanya, sang sineas itu sebenarnya ingin ngomong apa si….. 3 doa 3 cinta, kalau boleh berandai-andai, mungkinkah film ini dibuat dalam 3 film tentang cinta (poligami,islam radikal dengan syahidnya,hubungan sesama jenis) dan 3 film tentang doa (pencarian sosok ibu,pesantren,impian)…… andai…

Anonymous said...

iya, seharusnya klo memang ingin memperjelas pesantren tidak dikaitkan dengan teroris, tokoh Syahid bisa di eksplor lebih. Saya mah kecewa sama film ini.

Anonymous said...

setujuh... nih film karakter tokohnya nggak bisa ditangkap...

belum lagi pengambilan gambar yang ngasal, saya merasa menonton hasil video shooting perkawinan amatiran..

nggak ada kreativitas..

100 layers said...

Entah kenapa saya jadi SANGAT sedih dengan posting film 3 Doa 3 Cinta ini. Saya merasa bahwa usaha orang-orang muda KREATIF seperti Nurman Hakim, tidak ada artinya bagi masyarakat. Terlepas dari faktor cerita yang datar atau teknis yang lemah seperti yang dipaparkan diatas, film ini bagi saya adalah sebuah bagian dari revolusi menjadikan film Indonesia ke arah yang lebih baik. Saat dimana film bukan hanya sebuah HIBURAN rendah semata, tapi juga merupakan potret sejarah bangsa.

Maka dari itu, saya sangat mengharapkan APRESIASI yang lebih baik dari masyarakat. Lebih dari sekedar mengharapkan cerita yang bisa bikin ketawa terpingkal-pingkal, atau berpikiran ngeres dari komedi2 nakal yang heboh dipasaran.

Bagi saya, sang sutradara cukup fasih bertutur dalam menggambarkan realita kehidupan pesantren, wajar sutradara memang mantan santri. Ceritanya datar? Justru disini saya menangkap sebuah cerita yang realistis. Tidak hiperbolis layaknya sinetron2 yang ada. Buat apa sih cerita dengan konflik yang berarti kalo gak realistis? Walau saya setuju kalo ceritanya tidak fokus dan kemana-kemana.

Kalau soal teknis saya juga setuju. Editing yang mentah, long take yang gak jelas. Mungkinkah sebuah eksplorasi? Kalo itu jawabannya, saya sangat berharap inovasi2 baru tersebut terus bermunculan di setiap film2 Indonesia ke depan, dengan harapan akan muncul bentuk film Indonesia yang orisinil. Bukan mengikuti Hollywood semata.

Kalo soal akting, terutama 3 pemain utama pria dan dian satro, saya rasa baik. Memang tidak superb, tapi mereka dapat memperkuat cerita sebagai center of attention. Saya salut Dian total dengan menggendutkan badan seperti penyanyi2 dangdut yg montok. Nico bisa bermain bersahaja walau kadang terlihat terlalu tampan buat santri.

Film ini meraih 2 penghargaan internasional. Saya jadi berpikir, kenapa masyarakat luar mampu dengan lebih baik menghargai film Indonesia, ketimbang bangsanya sendiri. Kenapa mereka mampu menilai film bukan hanya dari satu sudut semata, melainkan film secara utuh.

Saya sangat berharap kalimat terakhir dari posting diatas dapat dipertimbangkan untuk di hapus. Sepertinya ungkapan "pembodohan penonton" dan "merendahkan medium film" lebih pantas diberikan kepada film2 horor, cinta, sex comedy yang menjamur sekarang ini.

Mohon maaf sebelumnya, saya hanya ingin berbagi. Semoga opini saya tidak diartikan secara negatif.

Salam, sesama pencinta film.

Daus, Bandung

DANDO said...

Ceritanya memang kurang fokus, tapi tak apa-apa, tujuan utama saya nonton ya untuk menonton akting Nico. Eh, saya juga suka tuh sama Yoga Pratama. Daun-daun muda yang segar.... Huahahaha!

Anonymous said...

Saya pikir dengan orang2 dibelakang layar dari 3 doa dan 3 cinta harusnya tidak seperti ini hasilnya. Saya kurang sependapat dengan mas daus bukannya montase kurang apresiasi coba deh mas daus liat freshreview lainnya ... film 2 mapan aja klo emang ada kekurangannya dibabat habis kok .... coba liat fiksi mas daus khan lain( ini juga hasil anak bangsa lho )..... ini sebagai pembelajaran kepada kita semua untuk dapat mengevaluasi dan menambah wacana kita tentang film,saya pikir inilah tugas dari kritik agar bisa menjadi penyeimbang sebuah film.

Anonymous said...

To: Mas Daus di Bandung,
Terima kasih sekali atas tanggapannya…

Sebelum menonton filmnya, kami berharap banyak akan mendapat sebuah tontonan yang berkualitas mengingat tim yang terlibat didalamnya, seperti Nurman Hakim, Nan Achnas, Agni Ariatama, Sastha Sunu adalah para praktisi serta akademisi handal yang beberapa diantaranya pernah terlibat dalam produksi film-film berkualitas. Kriteria penilaian yang kami gunakan tentu berbeda dengan film-film komedi seks serta horor kita kebanyakan. Namun alangkah kecewanya ketika film yang kami tonton ternyata jauh dari yang kami harapkan.

Industri sinema kita telah bangkit dari mati suri sejak beberapa tahun silam. Dari sisi tertentu kami sangat bangga karena film kita telah mampu bersaing secara kuantitas dengan film-film Hollywood, namun sebaliknya kami sangat prihatin dengan kualitas film-film kita. Sejak AADC tercatat tidak ada lagi film remaja kita yang lebih baik dari ini. Film-film kita yang terbilang berkualitas jumlahnya masih sangat minim, sebut saja Berbagi Suami, The Photograph, dan Opera Jawa. Pencapaian artistik Kala serta inovasi cerita dalam Fiksi patut pula kita acungi jempol. Industri film kita telah bangkit cukup lama sudah sewajarnya jika kita menuntut film-film kita dapat lebih berkualitas.

Akhir kata, kami tidak bangga dengan apa yang kami tulis di artikel kami. Mengulas film bagi kami bukan pekerjaan yang mudah. Sama sekali tak ada maksud untuk merendahkan atau menjelekkan siapapun, namun semua yang tertulis pada artikel kami adalah ekspresi yang benar-benar kami rasakan saat menonton filmnya. Kami sangat yakin jika para pembuat film yang terlibat di dalamnya dapat memproduksi karya yang lebih baik lagi.


Demikian tanggapan kami,
Semoga dengan diskusi seperti ini film-film kita akan lebih baik di masa datang.
Salam untuk semua pecinta film di Bandung

Editor

Anonymous said...

He..he.. mas yang di bandung, mas sebenarnya sadar kalau cerita tidak fokus dan pencapaian teknis (terutama editing & cinematography) kurang memadai. Bukankah ke dua aspek tersebut (naratif dan sinematik) sangat penting dalam sinema. Bagaimana kita bisa mengapresiasiakan suatu film dengan lebih baik apabila aspek penting dalam sinema kurang memadai ?
Maju terus film Indonesia yang BERKUALITAS…..

Anonymous said...

to mas daus... dr bandung...
saya barusaja membaca artikel ini...
dan ju2r,,, saya sangat kecewa dengan coment dari mas daus...

diantaranya,,, kalimat mas yang bilang jangan hanya meniru film holywood semata... mungkin mas daus ingin mengatakan film Indonesia harus memiliki ciri? saya hargai itu... tapi jika film ini dijadikan salah stu ciri film Indonesia,,, maka... he,,,he,,, Saya jamin film Indonesia akan kembali mati suri...

dan apa benar seperti itukah realitas pesantren di Indonesia???
sebab film tersebut tidak dapat menyakinkan saya... dan jika mas bilang apresiasi masyarakat hanya pada film yang bikin ngakak dengan
berpikir ngeres,,, saya rasa film ini ( 3doa ) sangat mendukung film2 yang seperti yang mas katakan( film tidak bermutu. )jadi kalau film ini ingin menyapaikan sesuatu yang beda pada perfilman Indonesia,,, maka film ini saya anggap gagal... karena,,, dan tidak ubahnya seperti film banyolan yang sering beredar di Indonesia..

serta tentang totalitas yang mas katakan ( dian sastro) maka sayang sekali jika itu tidak dimanfaatkan dengan baik. karena film ini tidak dapat menjadikan hal tersebut istimewa,,, mungkin dian yang salah... memilih totalitas pada film ini... sebab saya tidak melihat totalitas apapun dari filmnya... atau ini hanya sekedar film konyol...

ad lagi mengenai orang asing lebih bisa menghargai film... mas tidak cek terlebih dulu,,, apa motif orang2 tersebut??? jadi saya pikir orang asing tersebut tidak ubahnya dsengan orang yang tidak mengerti film...


so... saya setuju dengan kebanyakan komen yang ada di artikel ini. terutama mas joko tentang aspek penting film dan editor buletin ini..

maju terus film Indonesia... yang sungguh2 tentunya... bukan yang ngasal...

he...he...

Unknown said...

Setuju sama mas daus

Astari Pahlevi said...
This comment has been removed by the author.
Astari Pahlevi said...

Di luar kekurangan2nya, saya rasa 3D3C patut dihargai, karena, setidaknya film ini, dibandingkan film2 yang sama2 bernuansa Islam, berani menampilkan wajah Islam Indonesia dengan lebih jujur dan netral. Kita butuh film2 semacam ini agar orang Indonesia, yang mayoritas beragama Islam, bisa lebih bercermin dan intropeksi diri, terutama bagaimana kita selalu suzon terhadap bangsa asing dan orang yang berbeda keyakinan. Menurut saya akan lebih baik kalau ceritanya difokuskan pada Syahid.

Celotehan si Mute said...

Sepakat.menurut saya semuanya jelas kok, dan kadang film itu gak perlu ending yang wah, soalnya film ini TOK menggambarkan kehidupan sehari2 Dan sangat realistis.

Anonymous said...

Terlepas dari apapun penilaian Anda, kalimat "film ini adalah satu bentuk pembodohan penonton serta merendahkan medium film itu sendiri" sepertinya terlalu congkak dan keras ya. Saya sebagai penonton film Indonesia, kalau ada yang minus menurut saya tetap garus disampaikan dengan etika yang baik. Beri kritik membangun, bukan kalimat sarkas cenderung menghujat.

Penulis sendiri sebenarnya sudah aware, bahwa Dona di awal niatnya bisa jadi tidak baik. Dia, ambil uang Huda, tapi mungkin tak benar benar membantunya. Makanya, saat ditanya lebih lanjut soal dmn alamat ibunya yang terbaru dia tdk bisa memberi info pasti. Baru setelah dibantu merekam video di jembatan itu hatinya lebih tergerak untuk kemudian bebar benar membantu mencari tau alamat ibunya Huda.
Film ini buat saya cukup berani mengangkat kisah hasrat sesama jenis, yang sangat tabu secara susila juga secara agama. Berapa banyak film ini berbau Islam yang berani angkat fakta ini? Karena seorang kenalan saya jufa adalah seirang gay lulusan suatu pesantren. Kesederhanaan lokasi pesantren ini juga terasa real, karena saya pernah lihat kehidupan santri lokal di Jawa Timur.
In the end, kalau hasil film diluar ekspektasi Anda tetaplah pakai jalimat yang baik dan membangun. Bukan terkesan serba buruk dan merendahkan.

Unknown said...

ada link filmnya g

wedeh... said...

Saya setuju nih ama agan, coba montase disuruh nonton ulang/ retrospektif lagi deh nonton film ini, kayak dulu rogerebert pas nonton big lebowsky pas baru keluar filmnya sama sepuluh taun kemudian beda penilaiannya. Kalo gw pribadi sih yg bekas anak pesantren merasa kalo pilem ini merepresentasikan pesantren yang paling pas menurut gw ketimbang film2 islami lainnya, dan juga banyak "hal2" yang seolah cuma bisa dibaca ama yang dari kalangan pesantren, agak internal gitu kayaknya haha. Trus karena penafsiran orang beda2 thd suatu karya seni, saya sendiri juga malah suka sama pembawaan cerita yang begitu. Longshot gajelas katanya, tapi malah saya nikmatin seolah mrngalir aja gitu setting pondok pesantren di pedesaan jawa. Cmiiw, Coba deh nonton ulang c

Khoz said...

Heran sya koq bisa mngatakan dangkal,disetiap film pasti ada kekurangan film ini pun juga pastinya,cuman ketika anda pernah jadi anak pondok,pasti anda akan sangat mengapresiasi,seperti ini luw kurang lebih pondok salaf bukan seperti pondok modern jaman sekarang,dan pengalaman saya mondok memang tdk prnh sya jumpai konflik yg besar,ada konflik tp memang sederhana dan itulah pondok tempat menimba ilmu,kalo mau konflik yang wah silahkan masuk misalnya politik atau dunia entertaiment,tapi bagi yg gk pernah mondok akan mudah blg dangkal,tp ketika pernah mondok pasti anda akan tertawa ketika menontontonnya dan kangen masa2 mondok dulu.

Khoz said...
This comment has been removed by the author.
Yongkruu said...

Iya bner ngga jelas bngt ceritanya

Sorten kazu said...

Hy sy dr masa dpan 2022 bru sj menonton film 3D3C... :)

Anonymous said...

Ini yg nulis bahasa nya kurang bagus ya, berani komen karya orang sebagai pembodohan penonton tapi bahasanya sendiri juga sangat tidak mendidik dan membangun.

Saya sih lebih percaya kalo perfilman Indonesia akan maju jika pemikiran masyarakat juga sejalan. Hayolo saling support!